Saturday, July 29, 2006
Yang Tersisa Dari Bencana
Oleh:
Yurdi Yasmi
Mahasiswa Universitas
Wageningen, Belanda
Manusia selalu dihadapkan pada kenyataan bahwa mereka harus melawan kehendak alam (struggle against the nature). Dengan bekal ilmu pengetahuan yang terus berkembang, manusia seakan hendak mencoba menaklukan dan menjinakkan kehendak alam tersebut. Misalnya saja Jepang yang ditakdirkan untuk selalu ditimpa badai topan dan gempa, berusaha mengembangkan desain rumah sedemikian rupa sehingga guncangan dan serbuan topan bisa diatasi. Jepang sangat terkenal dengan kemampuannya beradaptasi terhadap kondisi semacam ini.
Demikan juga Belanda yang sepertiga daratannya terletak di bawah permukaan laut, terus berupaya mengembangkan teknologi untuk meredam hantaman ombak ganas laut utara (The North Sea). Belanda membendung garis pantai mereka dengan teknologi canggih. Andai saja dam yang mereka bangun itu roboh dalam waktu bersamaan, dipastikan kota utama negeri Kincir Angin itu seperti Amsterdam, Rotterdam dan Den Haag terendam air seketika. Namun dalam sejarahnya baru sekali saja di akhir 1960-an terjadi kebobolan salah satu dam yang menelan banyak korban jiwa dan harta benda. Insinyur Belanda memang termasyhur dengan kepiawaian mereka meredam gejolak air.
Boleh jadi Jepang dan Belanda adalah negara yang berhasil dalam menjinakkan kehendak alam, karena mereka punya teknologi dan pengetahuan luas. Mereka mengembangkan penelitian (research) jangka panjang untuk bisa memahami pola bencana. Tidak tanggung-tanggung, universitas terkemuka di negara itu berinvestasi cukup banyak untuk penelitian. Walhasil, mereka bisa mengantisipasi gejolak alam dan lebih siap beradaptasi dengan terjangan amarah bencana.
Namun kadangkala kehendak alam sulit diprediksi. Pola umum bencana memang bisa dipelajari, tapi dengan segala keterbatasannya manusia tidak bisa memprediksi gejolak alam yang tidak mengikuti pola umum. Maka, di Jepang pun manusia dibuat kalang kabut ketika hantaman badai topan melebihi kemampuan teknologi manusia. Rumah runtuh berpuing-puing, korban jiwa berjatuhan. Demikian pula di negeri Adidaya Amerika Serikat, badai Kathrina membuat mereka harus mengakui bahwa alam masih jauh lebih kuat dari manusia.
Pernyataan jujur yang sering dibuat ilmuwan terkemuka adalah: manusia bisa mempelajari sebab musabab dan pola bencana tapi manusia belum bisa menggagalkan bencana itu. Tidak seorang pun mampu menggagalkan gempa bumi dan badai topan. Yang bisa dilakukan manusia hanyalah menyiapkan diri dalam menghadapinya. Barangkali kenyataan ini menyadarkan kita, bahwa manusia memang makhluk kecil dengan semua keterbatasannya.
Tentunya masih segar dalam ingatan kita, betapa manusia tidak bisa mengelak dari bencana besar. Tsunami yang menghantam Indonesia, Thailand, Sri Lanka, Bangladesh, India di penghujung 2004 membuktikan, alam mempunyai kekuatan maha dahsyat. Dalam sekejap ratusan ribu nyawa melayang, mayat bergelimpangan dan membusuk di sana sini. Untuk memakamkan mayat itu saja, diperlukan waktu tak kurang dari enam bulan lamanya. Pemandangan seram dan mencekam itu mengharuskan manusia mengakui, alam mustahil ditaklukkan (nature cannot be defeated).
Kalau kita melihat agak jauh ke belakang, letusan Gunung Krakatau di penghujung abad 19 juga merupakan salah satu peristiwa bencana terbesar yang pernah tercatat dalam sejarah peradaban. Bahkan abu letusannya terbang sampai ke Eropa dan Amerika. Sebuah letusan yang maha dahsyat dan mengerikan, menghasilkan gelombang laut yang luar biasa.
Karena begitu banyaknya prilaku alam yang memporakporandakan kehidupan sosial, tidak mengherankan kalau studi becana alam (disaster studies) berkembang pesat di Eropa, Jepang dan Amerika. Sementara di Indonesia ilmu ini belum begitu diminati. Pakar disaster studies mengatakan, dari semua bencana yang terjadi dan akan terus terjadi sebagian besar sumberdaya fisik (physical resources) akan hancur. Maksudnya bangunan, jembatan, rumah, sekolah, jalan raya dsb akan habis berserakan dihantam tenaga maha dahsyat. Apalagi kalau bencana itu seperti tsunami yang kita saksikan tempo hari. Semuanya pasti akan lenyap dan tidak akan ada yang bisa membendungnya, teknologi canggih sekalipun akan bertekuk lutut.
Lebih jauh pakar disaster studies menyimpulkan, yang tersisa dari semua bencana hanya sumberdaya keilmuaan (knowledge). Pengetahuan yang melekat dan diwariskan akan tetap abadi walaupun bencana menghancurkan semua fasilitas fisik, karena tersimpan di berbagai media. Ia bisa ditemukan di buku, pada seorang pakar dan disebar di berbagai tempat sehingga ilmu pengetahuan dipastikan lolos dari bencana. Walaupun banyak bangunan universitas di Jepang dan Amerkia hancur karena badai topan, tapi pengetahuan untuk merehabilitasi kehancuran pascabencana tetap bisa dipertahankan. Hal ini dimungkinkan, karena pengetahuan tersebut dilestarikan secara baik dan tersimpan di berbagai tempat.
Agaknya Indonesia perlu menyadari hal ini, apalagi di tengah bencana yang datang silih berganti beberapa tahun terakhir. Sejarah mencatat, manusia tidak bisa mengalahkan kehendak alam. Hanya satu harapan terakhir kita, ilmu pengetahuan akan tetap dilestarikan dan lolos dari bencana. Oleh sebab itu, Indonesia harus mampu mengembangkan ilmu pengetahuan sehingga apa pun bencana yang dialami kita tidak kehilangan semuanya.
Tentu saja yang terpenting adalah pengetahuan tentang rehabilitasi pascabencana. Namun tidak kalah pentingnya adalah mengembangkan penelitian (research) tentang pola bencana. Dengan demikian, paling tidak kita bisa mengantisipasi bencana yang reguler dan mampu bangkit kembali. Investasi di bidang research perlu ditingkatkan, karena hal ini adalah investasi jangka panjang yang tidak pernah merugikan. Universitas terkemuka di Indonesia merupakan ujung tombak dalam membangun semangat research di tanah air. Kita semua menantikan kiprah nyata mereka dalam membangun knowledge melalui research yang terpadu dan berkelanjutan.
e-mail: Yurdi.Yasmi@wur.nl
Friday, July 28, 2006
Ribuan Hektar Sawah Terendam
Di Sulawesi Utara, 12 Jembatan Putus akibat Banjir
Banjarbaru, Kompas - Banjir yang melanda empat kabupaten di Kalimantan Selatan dalam dua pekan terakhir merusak sedikitnya 12.536 hektar sawah. Sebanyak 1.093 hektar di antaranya dipastikan puso.
Empat kabupaten yang dilanda banjir adalah Banjar, Tanah Laut, Tanah Bumbu, dan Kotabaru. Dengan target produksi Kalsel rata-rata delapan ton per hektar, kerugian akibat puso paling sedikit Rp 14 miliar.
Menurut Kepala Subdinas Perlindungan Tanaman Pangan Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Kalsel Ernawati, Senin (3/7), Kalsel memiliki 200.000 hektar sawah dengan target 1,6 juta gabah kering giling. Meski persentase sawah yang kebanjiran relatif "kecil", kerusakan yang dialami tampak besar karena daerah itu merupakan lumbung kabupaten setempat.
Kerusakan terparah terjadi di Kecamatan Kusan Hulu dan Kusan Hilir, Tanah Bumbu, yang menjadi sentra padi Tanah Bumbu dan sebagian Kotabaru. Di dua kecamatan itu 2.571 hektar sawah terendam, 668 hektar di antaranya puso. Di Banjar banjir menggenangi 3.345 hektar sawah (71 hektar puso).
Ernawati menjelaskan, kebutuhan provinsi itu terbantu karena sentra padi Kabupaten Barito Kuala lolos dari banjir. Di kabupaten itu ada 89.000 hektar sawah yang dipanen dengan jumlah yang diharapkan memenuhi 30 persen produksi padi Kalsel.
Wakil Gubernur Kalsel Rosehan NB menjelaskan, setiap kabupaten diminta memantau kondisi logistik di daerah banjir. Kekurangan akan segera dipasok dari stok tiap kabupaten, terutama yang ada di wilayah aman. Di saat bersamaan, pemprov menyiapkan kebutuhan selanjutnya.
Perbaikan tiga jembatan putus di rute Banjarmasin-Tanah Bumbu-Kotabaru terus diupayakan. Tambahan alat berat dan kerangka jembatan terus dipasok ke lokasi untuk dikerjakan.
Sementara itu, masih dalam kaitan akibat banjir, Kepala Dinas Permukiman dan Prasarana Wilayah Sulawesi Utara Roy Roring dalam keterangan pers di Manado menyebutkan, jalan rusak akibat banjir di daerah itu mencapai ratusan kilometer. Penyebabnya adalah terjangan air dan longsoran tanah. Adapun jembatan yang putus mencapai 12 buah, di antaranya Jembatan Melongodaa (90 meter) diterjang air yang membawa ratusan kubik material kayu gelondongan. Hal yang sama dialami jembatan yang menghubungkan Molobog-Molibagu dan Pinolisian.
Staf khusus Bupati Bolaang Mangondow Reiner Oentoe mengatakan, pihaknya sudah menyampaikan penanganan pascabencana banjir ke tingkat provinsi. Dia mengatakan, Wakil Gubernur Sulut Freddy Sualang telah berkirim surat ke Jakarta meminta 12 jembatan bailey.
Ia menceritakan kesulitan yang dialami saat terjadi bencana. Penanganan pascabencana kurang optimal di antaranya karena keterbatasan alat berat. Akibat keterbatasan itu, regu penolong baru dapat menembus lokasi dua hari sesudah bencana. "Bantuan dibawa dengan berjalan kaki," kata Reiner Oentoe.
Menyambung jalur
Pada hari Minggu (2/7), Kompas yang memantau kawasan banjir di Kalsel menyaksikan warga mencoba "menyambung" jalur transportasi yang terputus itu dengan memanfaatkan perahu untuk menyeberangi sungai dan membawa barang lewat laut menyisir pantai.
Senin kemarin, sejumlah petani di Kecamatan Martapura dan Sungai Tabuk mempercepat panen padi yang masih bisa diselamatkan karena takut banjir meninggi dan semakin merendam sawah mereka. Tinggi permukaan air 1 hingga 3 meter.
Beberapa titik jalan dan ratusan rumah juga terendam sehingga sebagian warga mengungsi ke masjid dan rumah kerabat. Di Banjar, total pengungsi tercatat sekitar 60.000 orang.
Aktivitas warga seperti memasak dilakukan di tempat terbuka dan kering agar mereka dapat lebih cepat melihat jika permukaan air meninggi. Warga di kecamatan itu, seperti juga di kabupaten lain yang dilanda banjir, sudah menyiapkan perahu apabila perkembangan banjir memburuk.
Banjir di empat kabupaten di Kalsel itu dipicu tingginya curah hujan, terutama di kawasan Pegunungan Meratus yang menjadi "halaman belakang" kabupaten-kabupaten itu. Curah hujan yang tinggi dapat diukur dari ketinggian air Waduk Riam Kanan, Kabupaten Banjar, yang sempat mencapai 62 meter. Padahal, sejak dioperasikan tahun 1970-an, tinggi air bendungan selalu di bawah 60 meter.
Aliran air pegunungan itu memenuhi sungai-sungai dan membentuk luapan berarus deras. Banjir dengan arus yang deras itu membuat jalan Banjarmasin-Batatulicin-perbatasan Kalimantan Timur rusak atau hancur di 17 tempat, tiga jembatan putus, dan sedikitnya 50 rumah hanyut.
Secara bersamaan, air dari Pegunungan Meratus itu membanjiri 12 dari 14 kecamatan di Banjar, dua kecamatan di Tanah Laut, empat di Tanah Bumbu, dan sejumlah daerah aliran Sungai Gagayan di Kotabaru.
Infrastruktur
Sejumlah prasarana infrastruktur jalan dan jembatan di Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulut, mengalami kerusakan parah akibat bencana banjir bandang yang melanda wilayah itu akhir Juni lalu. Akibat kerusakan infrastruktur itu, beberapa kecamatan di kawasan pantai selatan terisolasi.
Sebagian besar warga korban bencana langsung dievakuasi ke wilayah aman di Dumoga Barat dan Dumoga Timur, tetapi sebagian memilih bertahan di lokasi. Mereka yang bertahan umumnya lelaki dengan maksud mengurus sawah atau kebun mereka yang rusak diterjang bencana. Palang Merah Indonesia Bolaang Mongondow mencatat jumlah pengungsi mencapai 1.025 keluarga. Kerugian yang diakibatkan bencana banjir dan tanah longsor di Bumi Totabuan itu ditaksir mencapai ratusan miliar rupiah.
Data Satkorlak Bolaang Mongondow menyebutkan, rumah yang rusak berat sekitar 280 unit, 29 unit di antaranya terseret arus air. Areal pertanian, khususnya lahan sawah, yang rusak dan gagal panen mencapai 5.420 hektar, lahan jagung 3.132 hektar, serta lahan kedelai seluas 180 hektar. (FUL/ZAL)
Data Kerusakan Sawah di Kabupaten Banjar
No Kecamatan------Luasan Sawah-Sawah Puso--Bantuan Diterima
----------------------------------------------------------------------------
1 Martapura Barat-4.046 Ha---------4.026 Ha-------14,75 ton
2 Martapura Timur-1.169 Ha---------800 Ha---------5,35 ton
3 Martapura Kota--1.016 Ha---------950 Ha---------1,9 ton
4 Astambul---------4.249 Ha---------2.220 Ha-------13 ton
----------------------------------------------------------------------------
Sumber: Disperta Banjar
Sawah Rusak Paling Luas di Martapura Barat
DARI 12 kecamatan di Kabupaten Banjar yang terendam banjir beberapa waktu lalu, persawahan Kecamatan Martapura Barat tercatat sebagai kecamatan yang paling banyak mengalami kerusakan hingga kematian (puso).
Berdasarkan data Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan (Disperta) Banjar, dari luasan 4.046 hektare lahan persawahan di Kecamatan Martapura Barat, 100 persen di antaranya terendam banjir. Dari jumlah itu, 4.026 hektare yang mengalami puso dan hasilnya tidak bisa diharapkan lagi. Jumlah luasan ini merupakan yang terbesar dibandingkan kecamatan lain yang lahan persawahannya juga terendam banjir.
Di Kecamatan Astambul, tercatat 2.220 hektare lahan persawahan mengalami puso, dari lahan persawahan seluas 4.249 hektare yang dimiliki. Sementara di Kecamatan Martapura Kota, 950 hektare padi sawah mati, dari 1.016 hektare luasan sawahnya. Dan di Kecamatan Martapura Timur, hanya 800 hektare lahan sawah yang rusak, dari 100 persen sawah yang ada, seluas 1.169 hektare.
“Empat kecamatan yang paling banyak mengalami puso ini saja yang mendapat bantuan kali ini,” jelas Kadisperta Banjar, Ir Eddy Hasbi MP didampingi Kasubdin RPL dan Perlintan, Ir Fahrozi MP, kemarin (25/7).
Secara keseluruhan, banjir telah merusak 11.100 hektare persawahan di Kabupaten Banjar. Jumlah tersebut hanya sebagian dari 14.243 hektare lahan sawah yang terendam banjir, dan 21.565 hektare lahan persawahan di DAS Kabupaten Banjar.
Pun kemarin, 35 ton bantuan bibit padi unggul varietas ciherang dari Departemen Pertanian Pusat mulai disalurkan bagi petani korban banjir di Kabupaten Banjar. Kecamatan Martapura Barat mendapatkan 14,75 ton, Martapura Timur 5,35 ton, Martapura Kota 1,9 ton dan Kecamatan Astambul 13 ton. Dengan perhitungan setiap hektare sawah memerlukan 25 kilogram bibit padi, bantuan 35 ton tersebut hanya cukup untuk 1.400 hektare sawah.
Lantas bagaimana dengan kecamatan lain yang tidak mendapat bantuan? Dijawab, bantuan tersebut diberikan berdasar skala prioritas yang ditetapkan Disperta Banjar. “Petani di kecamatan lainnya juga akan dibantu nanti. Usulan anggarannya sudah kami ajukan dalam APBD perubahan 2006 ini. Rencananya kami akan beli 40 ton bibit lagi,” terang Eddy.
Distribusi bantuan itu sendiri direncanakan akan disalurkan dalan tiga hari mulai hari ini, oleh distributornya, PT Sanghyang Sri.(dsa)
PT Sumpol Pasrah
Bila Izin HPH-nya Dicabut
MARTAPURA – Lekawasda kembali meminta dewan bersama Bupati Banjar mengeluarkan rekomendasi pencabutan HPH (hak penguasaan hutan) PT Sumpol Timber, ke Dirjen Kehutanan pusat. Perusahaan kayu yang melakuan aktivitas penebangan di kaki Pegunungan Meratus di wilayah Kabupaten Banjar dan Kabupaten Tanah Bumbu itu dituding sebagai penyebab musibah banjir beberapa waktu lalu.
Pernyataan sikap ini disampaikan Direktur Eksekutif Lekawasda, Anang Syahrani, pada kesempatan berbicara di hadapan anggota DPRD Banjar, LSM dan Manajemen PT Sumpol dalam rapat dengar pendapat di ruang rapat paripurna dewan, kemarin (24/7).
“Kalau penebangan yang dilakukan PT Sumpol benar seperti dikatakan telah sesuai aturan, apa bisa dijamin aktivitas penebangan itu tidak akan menyebabkan banjir lagi di waktu yang akan datang?” cecar Anang bersemangat.
Selain meminta rekomendasi pencabutan HPH PT Sumpol, Lekawasda juga mendesak agar bupati dan DPRD Banjar mengeluarkan rekomendasi yang sama untuk mencabut HPH perusahaan kayu lainnya yang beraktivitas di Pegunungan Meratus.
Bersamaan dengan itu, ia meminta agar hutan di Pegunungan Meratus yang rusak akibat penebangan hutan dapat dikembalikan kelestariannya seperti semula sebelum penebangan. Terakhir, pihaknya menuntut aparat berwenang untuk memproses kasus ini lebih jauh, sesuai dengan pelanggaran hukum dan administrasi yang disebutnya telah dilakukan PT Sumpol.
Mendengar pernyataan Lekawasda, Manajemen PT Sumpol Timber yang diwakili Manajer Perencanaan dan TPT Ir Ervan ganie, Didin Syahruddin dan Kabag Perencanaan M Khairin memilih bersikap tenang. Melalui Ervan Ganie, PT Sumpol menyatakan pasrah jika akhirnya bupati Banjar bersama DPRD Banjar mengeluarkan rekomendasi pencabutan HPH (hak penguasaan hutan), ke Dirjen Kehutanan Pusat. “Tidak masalah kalau memang maunya dicabut. Tapi tolong cabut juga HPH perusahaan lain dan PT Sumpol di kabupaten lainnya,” katanya, seraya menjelaskan detail proses yang akan dilalui sampai sebuah izin HPH benar-benar bisa dicabut oleh Dirjen Kehutanan Pusat.
Lucunya, desakan Lekawasda untuk mencabut izin HPH PT Sumpol itu baru dijawab lebih lengkap oleh manajemennya kepada wartawan usai pertemuan. Saat itu, PT Sumpol malah balik menantang Lekawasda. “Kalau HPH Sumpol dicabut, siapa yang bisa jamin tidak akan ada lagi banjir?,” cetus Ervan.
Dikatakan dia, tantangan itu dibuat lantaran bukan hanya PT Sumpol yang melakukan aktivitas penebangan di hutan Pegunungan Meratus. Selain perusahaan yang bekerja di kawasan seluas 9 ribu hektare di Gunung Gulang-Gulang dan 21 hektare di kawasan Kabupaten Tanah Bumbu, ada lagi sejumlah perusahaan kayu yang melakukan aktivitas penebangan di dekatnya.
Di antaranya adalah PT Hendratna, HTI Kirana, PT Hutan Kintap, Elbana, PT Al Amunda, Havatani, Valgobon dan PT Hutan Rindang Banua.
Terpisah, Wakil Ketua DPRD Banjar Gt Abdurrahman menyatakan akan menindaklanjuti hasil pertemuan kemarin dengan mengadakan rapat teknis dengan instansi terkait. Termasuk dengan Bupati Banjar HG Khairul Saleh, terkait tuntutan Lekawasda yang meminta rekomendasi pencabutan HPH perusahaan kayu.(dsa)
Buktikan Kalau Tuduhan Itu Benar
Dituding Sebagai Penyebab Banjir
Selasa, 25 Juli 2006
MANAJEMEN PT Sumpol Timber menolak dipersalahkan sebagai penyebab banjir di Kabupaten Banjar. Dikatakan Manajer Perencanaan dan TPT PT Sumpol Timber, Ir Ervan Ganie, ada beberapa faktor yang mungkin menyebabkan banjir. Di antaranya curah hujan, tipe kelerengan dan vegetasi lahan.
Sementara di sisi lain, pihaknya sudah memenuhi kewajibannya untuk mereboisasi hutan, sesuai dengan kewajiban dalam Izin HPH (Hak Pengusahaan Hutan) yang dikantonginya. Di antaranya dengan memberikan kompensasi bina desa dan memberikan dana reboisasi ke rekening dinas kehutanan.
Penyebab banjir lainnya yang disebut Ervan sebagai penyebab banjir di Kabupaten Banjar adalah aktivitas penebangan ilegal dan pendulangan emas manual di sekitar kawasan HPH mereka oleh warga.
“Tapi silakan saja kalau mau menimpakan kesalahan pada aktivitas penebangan kami. Kalau memang begitu, jangan ada lagi penebangan hutan apapun,” ujar Ervan, dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi II dan III DPRD Banjar, serta Lembaga Kajian dan Pengawasan Daerah (Lekawasda) Kalsel, kemarin (24/7).
Pada gilirannya, secara mengejutkan Lekawasda menunjukkan peta besar yang menampilkan konsesi PT Sumpol yang berada di hulu Desa Artain, kawasan yang pertama kali terendam banjir bandang, dua minggu sebelum banjir merendam 12 kecamatan di Kabupaten Banjar.
Lekwasda yang sejak awal gencar mengkritisi penyebab banjir di Kabupaten Banjar kemudian menunjuk lima titik di kawasan hutan lindung di luar konsesi PT Sumpol, yang juga ditebangi.
Melihat ini, manajemen PT Sumpol yang hadir sempat terlihat gusar. Namun saat diberi kesempatan menanggapi, mereka menjelaskan jika bukan hanya pihaknya yang melakukan aktivitas penebangan di kaki Pegunungan Meratus.
Pun pada kesempatan berbicara pada wartawan usai pertemuan, sekali lagi manajemen PT Sumpol membantah tuduhan tersebut. Tidak kepalang tanggung, mereka malah menantang siapa saja yang bisa membuktikan dengan GPS, bila tuduhan tersebut benar. “Kalau tidak benar, sama saja itu fitnah. Dan kami bisa menuntutnya,” cecar Ervan.
Menariknya, berikutnya Ervan malah menunjuk perusahaan kayu lain telah melakukan penebangan di kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Riam Kanan yang jelas-jelas merupakan hutan lindung, yakni PT Hutan Rindang Banua.
Pihaknya sendiri hanya melakukan tebangan di kawasan hutan produksi yang merupakan konsesinya. Itupun dilakukan dengan metode tebang pilih. Kayu-kayu hasil tebangan ini kemudian diangkut melalui Kintap Sungai Danau Kabupaten Tanah Laut, tidak melalui Waduk Riam Kanan.(dsa)
Dana Bencana Cuma Rp7 Juta
Ibnu: Cukup Untuk Apa Dana Itu?
BANJARMASIN – Kendati telah mendapat pengalaman ditimpa bencana, rupanya Pemprov Kalsel tetap saja memandang sebelah mata terhadap penanganan bencana. Lihat saja pada pembahasan di DPRD Kalsel tentang Kebijakan Umum Anggaran (KUA) yang nantinya akan dijabarkan pada APBD 2007. Dana penanggulangan bencana hanya disiapkan dana sebesar Rp7 juta saja.
Dana yang berada di Badan Kesbanglinmas itu dengan pagu dana sebesar Rp7 juta tersebut pada redaksionalnya tertulis untuk pos pemulihan daerah terkena bencana, kegiatan penanganan bencana dan pengungsi yakni pengadaan sarana dan prasarana Satkorlak PB Kalsel.
Ketua Komisi I DPRD Kalsel Ibnu Sina (FPKS) mengaku sangat terkejut dengan permintaan Badan Kesbanglinmas hanya sebesar Rp7 juta.
Dia mengaku dana itu sangat minim sekali digunakan seandainya terjadi bencana di Kalsel. “Bagaimana mungkin turun ke lapangan cuma dengan anggaran Rp7 juta saja. Cukup untuk apa dana itu?” sindirnya.
Diakui Ibnu, memang ada dana bencana lain yang berada di pos dana tak terduga. Namun tetap saja dana itu bukan dana tanggap darurat yang dapat digunakan secepat mungkin. Karena itu, anggota Panitia Anggaran (Panggar) DPRD ini meminta Kesbanglinmas menambah permintaan dana itu. Dia dan bersama anggota Panggar lainnya, akan memperjuangkan penambahan anggaran untuk tanggap darurat tersebut.
Menurut Sekretaris MPW PKS Kalsel ini, penganggaran dana penanggulangan bencana itu sangat tak berisiko namun sangat penting. Seandainya terjadi bencana dapat digunakan namun jika bencana tak terjadi selama masa anggaran maka dana itu akan dikembalikan ke kas daerah. “Jadi dana itu sangat aman,” tandasnya.
Selain dana bencana itu, sebenarnya ada pula mata anggaran lain yang berkaitan dengan bencana di Kesbanglinmas. Yakni, bantuan untuk Kabupaten Banjar dan Tanah Bumbu berupa perahu karet, handy cam, tustel, antena, laptop/printer hingga mencapai Rp250 juta. Kemudian juga ada dana operasional penanganan bencana di lokasi bencana sebesar Rp250 juta dan pembentukan jaringan komunikasi bencana sikon lamtibmas sebesar Rp150 juta. “Tapi dana itu kan dana yang langsung habis, bukan dana cadangan penanggulangan bencana,” tandasnya.
Kepala Badan Kesbanglinmas Kalsel Hadi Soesilo tak menepis jika pagu anggaran yang telah disusun Bappeda, maka Kesbanglinmas hanya “diberi” Rp7 juta saja. “Jujur saja, kita pun terkejut dengan anggaran itu. Namun saat ini masih saat pembahasan KUA sehingga tetap ada peluang untuk melakukan koreksi anggaran,” ujarnya saat dihubungi melalui sambungan telepon, kemarin sore. Hadi sendiri mengaku saat ini sedang melakukan rapat penyusunan anggaran itu bersama stafnya.
Dijabarkan Hadi, penyusunan anggaran tahun ini sangat berbeda dengan pola tahun-tahun sebelumnya. Karena itu mungkin saja ada dana penanggulangan dana bencana lainnya yang berada di pos selain Badan Kesbanglinmas. “Ada perbedaan sistem anggaran,” tandasnya.
Kendati itu, mantan Penjabat Walikota Banjarbaru ini tetap berharap seandainya dana penanganan bencana memang sangat minim. Misalnya, ada pos perjalanan pada Dinas Kesbanglinmas yang diharapkan dapat pula digunakan untuk membiayai keberangkatan relawan-relawan bencana.
Mantan Kepala Disperindag Kalsel ini, tak menepis jika pada KUA terdapat anggaran bencana lainnya, diantaranya untuk pengadaan perahu karet. Namun pos anggaran itu, ditegaskan Hadi telah dicoret. Sebab, terjadi tumpang tindih dengan bantuan dari Dinas Kesejahteraan Sosial (Kessos) yang juga menberi bantuan perahu karet ke Kabupaten/Kota. “Pagu itu disusun saat bencana banjir terjadi di Kuripan Batola dan sebelum ada bantuan dari Dinas Kessos. Pertimbangannya, daripada perahu karet tak ada yang mengurus di provinsi maka lebih baik diserahkan saja ke Kabupaten/Kota. Namun sudah dicoret,” tandasnya. (pur)
3.000 Pengungsi Banjir Belum Kembali
BANJARMASIN - Upaya memberikan pertolongan kepada para pengungsi banjir terus dilakukan pihak Pemprov Kalsel dan Pemkab yang tertima musibah. Dari 4 kabupaten yang tertimpa musibah banjir, saat ini ini masih ada sekitar 3.000 orang pengungsi banjir dari Kabupaten Tanah Bumbu (Tanbu) yang belum bersedia kembali ke rumah mereka masing-masing. Pasalnya, rata-rata para pengungsi banjir itu masih diliputi kekhawatiran air bakal pasang lagi.
Demikian diungkapkan Gubernur Kalsel Rudy Ariffin dalam teleconference dengan Mendagri M Ma'ruf, kemarin. Dalam kesempatan itu, Rudy melaporkan bahwa kondisi air pasca terjadinya banjir di beberapa daerah saat ini mulai berangsur turun, dan para pengungsi pun sudah mulai kembali ke rumah mereka masing-masing. "Tapi, sampai saat ini masih ada pengungsi banjir yang belum bersedia kembali ke rumah mereka. Yakni pengungsi banjir yang ada di Kabupaten Tanah Bumbu. Meski begitu, upaya untuk memberikan bantuan kepada para pengungsi itu sudah dilakukan oleh Pemrov Kalsel," ujarnya.
Selain masalah pengungsi banjir, Rudy juga melaporkan masalah musibah kebakaran di Kotabaru. Disebutkan, saat ini terdapat 2.319 Kepala Keluarga (KK) yang kehilangan tempat tinggalnya, atau bila dihitung per jiwa sekitar 7.000 orang yang tidak memiliki tempat berteduh. "Makanya, untuk masalah penataan pasca kebakaran ini, kita mengharapkan ke depannya Pemkab Kotabaru dapat melakukan penataan di lokasi bekas kebakaran itu, sehingga kebakaran besar itu tidak terjadi lagi," katanya.
Menanggapi masalah pengungsi banjir di Kabupaten Tanbu, Mendagri M Ma'ruf meminta kepada Gubernur Kalsel agar tetap memperhatikannya sampai semua pengungsi kembali ke rumah mereka. Sedangkan untuk masalah pembangunan kembali kawasan bekas kebakaran, diharapkan tetap mengacu pada peraturan yang ada. "Jadi, kalau mau membangun rumah, usahakan rumah yang standar dengan kesehatan. Kemudian atur jarak antara rumah satu dengan yang lainnya," ujarnya.
Ketika dikonfirmasi untuk kegiatan acara teleconference itu sendiri, Gubernur Rudy mengatakan bahwa kegiatan tersebut dilakukan sebagai ujicoba peralatan teleconference yang saat ini sudah dimiliki oleh Pemprov Kalsel. "Ini kan hanya percobaan peralatan untuk teleconference seluruh Pemda di Indonesia, yang kini dimiliki oleh para gubernur di seluruh Indoensia. Jadi dalam hal ini kita baru melakukan uji coba, dan kebetulan Pak Menteri minta informasi-informasi dari daerah," ungkapnya.
Selain itu, lanjutnya, dengan menggunakan alat teleconference ini seluruh pimpinan daerah dapat melakukan dialog dan melakukan tukar pikiran. "Kita bisa lihat tadi bahwa kita juga bisa konek dengan kawan-kawan dari provinsi lain. Jadi bisa bicara langsung dengan pejabat yang berada di daerah lain, sehingga bisa langsung tukar pikiran," ujarnya.
Ditanyakan apakah dengan adanya alat tersebut nanti dapat mengurangi jadwal kepala daerah melakukan kunjungan keluar daerah, Rudy Ariffin hanya mengometarinya dengan singkat. "Mudah-mudahan," katanya.(gsr)
Banjir juga Akibat Vegetasi Berkurang
MARTAPURA – Menjelang dengar pendapat yang akan dilakukan DPRD Banjar untuk mencari penyebab musibah banjir yang merendam 12 kecamatan di Kabupaten Banjar beberapa waktu lalu, Kepala Badan Metereologi dan Geofisika (BMG) Banjarbaru Ir Sucantika Budi mengungkapkan informasi menarik.
Diungkapkan, berdasarkan pengetahuannya bekerja di BMG di Kalsel selama 30 tahun terakhir, ternyata intensitas curah hujan di Kalsel—termasuk di pegunungan Meratus—tidak banyak berubah. Memang ada penambahan sedikit, tapi secara keseluruhan tidak banyak berubah. Curah hujan pada tahun 2006 ini pun tidak jauh berbeda dengan curah hujan pada tahun 2005 lalu.
“Jadi jangan salahkan hujan kalau sekarang banjir. Masalahnya ada di bumi, kenapa vegetasinya (kehidupan tumbuh-tumbuhan, Red) berkurang,” ungkapnya kepada wartawan di ruang kerjanya, Senin (17/7) kemarin.
Bila tahun ini banjir, Sucantika menduga itu terjadi lantaran perubahan vegetasi di Kalsel. Terutama hutan lindung di pegunungan Meratus yang merupakan kawasan serapan air. Banjir yang melanda Kabupaten Banjar sendiri disebutnya sebagai banjir kiriman dari sungai-sungai yang berhulu di pegunungan Meratus, dan bertemu di dekat kota Martapura.
Dari pengamatannya, musibah banjir di Kalsel—terutama di Kabupaten Banjar—baru terjadi beberapa tahun terakhir dengan intensitas berbeda. Banjir terbesar sendiri terjadi pada tahun 2006 ini, saat hampir sebagian besar daerah dataran rendah di Kalsel terendam banjir.
Apa yang dikatakan Sucantika memang benar adanya. Dari informasi yang dihimpun harian ini, sejak tahun 2003 musibah banjir di Kabupaten Banjar memang terjadi setiap tahun. Dengan daerah rendaman di sekitar DAS Riam Kanan, Riam Kiwa dan Martapura.
Tercatat pada tahun 2003, banjir merendam Kecamatan Sungai Tabuk, Simpang Empat, Pengaron, Astambul, Martapura, Gambut dan Aluh-Aluh, serta merusak 2.047 hektare lahan persawahan dan 650 rumah. Kawasan dan ketinggian rendaman banjir terus meluas di daerah-daerah yang berada sekitar DAS.
Banjir tahunan itu sendiri terjadi pada bulan-bulan hujan, atau pada akhir dan awal tahun. Hanya pada tahun 2006 ini banjir terjadi pada pertengahan tahun dan menjelang musim kemarau. Menariknya, intensitas hujan tinggi yang berpotensi menyebabkan banjir ini sempat diprediksikan Sucantika sebelumnya. “Kelihatan dari citra satelit kita, ada banyaknya awan hujan di atas pulau Kalimantan akhir Juni lalu akibat terjadinya tekanan udara rendah di dekat Philifina.(dsa)
Banjir Akibat Kerusakan Lingkungan
BANJARMASIN - Bencana banjir yang telah menyerang empat kabupaten di Kalsel, coba dianalisis penyebabnya. Analisis ini diharapkan bisa menjadi bahan dasar bagi kebijakan para pengambil kebijakan di Kalsel.
Aktivitas pertambangan liar dan penggundulan hutan di daerah penyangga, Pegunungan Meratus, diyakini menjadi penyebab utama musibah banjir belakangan ini.
Hal ini terungkap dalam diskusi publik gagasan Walhi Kalsel bersama sejumlah LSM dan UKM perguruan tinggi di Kalsel. Diskusi bertajuk "Menggugat Kebijakan Pemerintah Daerah di Kalsel dalam Penanggulangan Bencana Akibat Kerusakan Lingkungan" ini menghadirkan empat narasumber di Hotel Graha Fortuna, Kamis lalu. Yakni Kepala Bapedalda Kalsel Rahmadi Kurdi, Direktur Eksekutif Walhi Kalsel Berry Nahdian Furqon, akademisi dari FISIP Unlam Mukhtar Sarman, dan Koordinator Posko Peduli Bencana Kalsel Ina Fathiyah, termasuk masyarakat korba banjir dari Sungai Balai, Mali-Mali.Sayangnya, Gubernur Kalsel Rudy Ariffin selaku Ketua Satkorlak Provinsi Kalsel tidak hadir dalam pertemuan tersebut.
Menurut Berry, musibah banjir yang melanda Kalsel bukan sekadar bencana alam, karena disebabkan adanya eksploitasi sumber daya alam (SDA), dampak kumulatif dari kebijakan tak berperspektif serta kebijakan pengelolaan bencana (disaster management).
Dia mencontohkan, di bumi Kalsel saja tercatat 236 izin kuasa pertambangan (KP) yang diterbitkan 6 bupati, 29 izin PKP2B dari pemerintah pusat. Ironisnya, beber Berry, mengutip data yang diolah dari berbagai sumber tersebut, terungkap bahwa sebanyak 369 KP dan PKP2B justru tumpang tindih (overlap) dengan kawasan hutan dan perairan, 3 izin HPH aktif, 4 izin IPK aktif, 6 izin HTI aktif, serta 46 izin perkebunan besar. "Satu sisi, laju kerusakan hutan di Kalsel sangat cepat, sekitar 57.193 hektare per tahun atau 3,18 persen per tahun. Sementara, target dari gerakan rehabilitasi (Gerhan) hanya berkisar 15 ribu hektare. Ini jelas tidak seimbang, apalagi proyek Gerhan sendiri banyak digugat, karena tidak berhasil atau gagal," bebernya.
Berry menambahkan, dari penelitian Walhi Kalsel di lapangan, justru kawasan yang terendam banjir seperti di Kabupaten Banjar, Tanah Bumbu dan Kotabaru, ternyata disebabkan kerusakan lingkungan akibat pertambangan dan pembalakan liar. "Ini fakta yang terjadi," ujar Berry.
Karena itu, dia mendesak agar kebijakan moratorium SDA, audit lingkungan baik perusahaan tambang, hutan dan perkebunan, serta evaluasi tata ruang dan berpijak perseptif, patut diusung pemerintah daerah. "Termasuk, pengembangan sistem disaster management yang lebih aplikatif, terkoordinasi dan menjaga daerah terisolir," cetusnya.
Temuan Walhi Kalsel ini diakuri Kepala Bapeldalda Kalsel, Rahmadi Kurdi. Dia mengakui banyak kerusakan lingkungan yang terjadi di Kalsel, sangat berdampak terhadap lingkungan, sehingga mengakibatkan bencana banjir. "Satu sisi yang menyedihkan justru anggaran untuk pengelolaan dampak lingkungan sangat minim. Ya, kebijakan kita memang tak mementingkan masalah lingkungan," akunya.
Sementara itu, dua narasumber lainnya yakni Ina Fathiyah dan Mukhtar Sarman, lebih mengungkapkan sisi fakta di lapangan, serta konsep ke depan untuk penanggulangan bencana. Menariknya, dalam sesi dialog, suasana kian panas, sebab para peserta yakin bencana banjir akan kembali melanda Kalsel, jika tak segera diatasi segera. Terutama, menyangkut pengelolaan lingkungan yang tak berkiblat terhadap penanganan bencana. (dig)
Titik Api Tak Terdeteksi
Banjarbaru, BPost - Belum diketahuinya titik api (hot spot) di Kalsel ternyata bukan karena daerah ini aman dari pembakaran lahan. Dinas Kehutanan (Dishut) Provinsi Kalsel tak dapat mendeteksi hot spot, pasalnya satelit NOAA-AVHRR (National Oceanic Atmospheric Administration Advanced Very High Resolution Radiometer) rusak.
Menurut Kadishut Kalsel Sony Pratono, biasanya hotspot diketahui dari sebuah pixel yang memiliki nilai temperatur di atas ambang batas (threshold) tertentu dari hasil interpretasi citra satelit NOAA.
Saat ini, kata dia, dua NOAA yang kerap dipakai yakni 12 dan 16 ngadat. Akibatnya, proses interpretasi citra NOAA yang dilakukan secara otomatis dengan menggunakan komputer pun tak dapat diakses.
"Kita memang masih belum dapat mendeteksi hot spot di kabupaten/kota se-Kalsel, karena ada kendala pada satelit NOAA. Susah mengaksesnya," kata Sony Partono, Rabu (26/7).
Sony tak menyebutkan kapan kerusakan itu terjadi. Namun dia, memperkirakan sekitar dua pekan terakhir satelit itu tak bisa berfungsi maksimal.
Biasanya satelit ini menangkap nilai ambang batas temperatur yang diaplikasikan pada chanel infrared adalah 315 Kelvin (42 derajat celcius) untuk pengambilan siang hari dan 310 Kelvin (37 derajat celcius) pada sore/malam hari.
Dari dasar itulah, biasanya Dishut Kalsel mengirimkan koordinat titik api ke masing-masing kabupaten/kota, agar pemerintah setempat dapat melakukan langkah-langkah antisipasi atau paling tidak meminimalkan terjadinya kebakaran lahan.
Ditanya seberapa besar keparahan kerusakan ini, Sony mengaku tak mengetahuinya. Ini karena jenis kerusakan hanya dapat diketahui di Jakarta, sementara pihaknya hanya user. Ia pun berjanji akan terus menanyakan kerusakan dan proses aksesnya itu.
"Kami tidak tahu kerusakannya di mana. Yang jelas, biasanya kami mengirimkan warning ke kabupaten/kota untuk selalu siap siaga mengendalikan kebakaran lahan di kawasannya. Dari satelit NOAA kita pantau dan hasilnya kita sebarkan," jelasnya.
Sampai saat ini, ia hanya menerima laporan secara manual dari warga tentang adanya pembakaran lahan. Itu pun hanya ada satu hot spot yang ditangkap yakni di sekitar wilayah Kota Banjarbaru.
Sony mengimbau agar semua pihak mewaspadai daerah yang memiliki lahan gambut. Karena, faktanya tahun lalu daerah yang berkarakteristik lahan gambut juga lahan tidur yang masih ditumbuhi alang-alang memiliki hot spot cukup tinggi, bahkan menduduki peringkat tiga.
Kadis Pertanian dan Kehutanan (Distanhut) Kota Banjarbaru, Wisnu Raharjo mengaku juga belum menerima hasil laporan pantauan satelit NOAA dari Dishut Kalsel yang biasanya ia terima. Pun dengan adanya lahan yang mulai terbakar di wilayahnya.
"Kita biasanya bekerja berdasarkan laporan dari Dishut Provinsi. Sampai saat ini belum ada laporan, begitu juga tentang kebakaran yang terjadi di Kota Banjarbaru," paparnya.
Menurutnya, kalau pun ada lahan yang terbakar di musim kemarau, biasanya adalah lahan tidur. Tidak dimanfaatkan oleh pemiliknya, bukan lahan-lahan produktif yang sengaja dibakar. niz
BUMI SAIJAAN BERLINANG AIR MATA
"Besok Kami Harus Makan Apa?"
Tenda kuning itu hanya berukuran empat kali enam meter namun penghuninya berjubel. Belasan jiwa dari empat keluarga berbeda rela berdesak-desakan. Mereka pun masih harus menyisihkan tempat untuk sofa, peralatan memasak dan alat-alat rumah tangga lainnya.
Derita ini mau tidak mau harus mereka terima dan rasakan. Keluhan, ratapan apalagi gerundelan tidak ada artinya. Tidak akan bisa mengembalikan harta milik mereka yang habis dilalap si jago merah.
Kucuran keringat terlihat di wajah-wajah mereka yang menghitam dipanggang matahari. Terlebih para perempuan dan balita. Mereka terpaksa berulang kali mencari angin dengan cara menggerak-gerakkan kertas bekas. Mengusir sesaat gerah yang menyiksa.
Tak jauh dari tenda itu, terlihat puing-puing kayu dan papan, bertumpukan tak tertata. Semua menghitam, menjadi arang yang masih mengepulkan asap. Titik-titik api terkadang masih terlihat ketika angin berhembus.
"Kami sudah dua kali mengalami musibah ini. Dulu, saya masih ingat, 27 Juni 1993, rumah kami juga terbakar. Kemarin terulang lagi. Tetapi mau gimana lagi?" keluh Sjachrani, salah satu kepala keluarga yang mengungsi di tenda itu. Tiga kepala keluarga lainnya adalah Ardiansyah, Abdurahman dan Bachtiar. Mereka semua bermatapencaharian sebagai nelayan dan pembuat perahu.
Derita memang kembali dirasakan Sjachrani dan keluarga-keluarga warga Desa Rampa Lama dan Desa Sirgahayu, Kotabaru.
Dalam kebakaran hebat selama delapan jam itu 2.195 rumah sekejap menjadi arang. Sebanyak 7.844 jiwa pun kehilangan tempat tinggal. Dan dua desa yang padat penghuni itu kini berubah menjadi lapangan puing hitam.
Keterbatasan dan ketiadaan kini menjadi teman mereka. "Kemarin malam kami makan diberi Guru Udin, tokoh masyarakat di sini. Tadi pagi kami makan nasi bungkus pembagian Ikatan Nelayan Saijaan Kotabaru. Besok kami belum tahu makan apa," keluh Sjachrani kepada BPost, Sabtu (15/7).
Hingga hari kedua pascakebakaran, ia mengaku belum mendapat jatah makanan bantuan yang dijanjikan Pemkab Kotabaru. Untuk bertahan hidup, Sjachrani dan para korban lainnya hanya menerima belas kasihan keluarga dekat yang memberikan bantuan makanan alakadarnya.
Bahan makanan memang menjadi ‘benda mewah’ bagi mereka. "Cari mi saja susah. Kami ini belum makan," celetuk seorang perempuan. Wajar saja perempuan ini mengeluh. Duit tidak punya, tetapi untuk mendapatkan jatah makanan, harus antre bahkan berdesak-desakan mendaftarkan ke posko terdekat.
Memang derita tak ada yang bisa meramalkan datangnya. Kini para korban hanya bisa berharap pada bantuan. Bupati Kotabaru, Sjachrani Mataja pun menyikapinya. "Warga yang menjadi korban kebakaran diharapkan bersabar dan tabah, karena ini adalah ujian kepada kita semua. Kita ambil hikmahnya. Ke depannya, kita akan lakukan pembenahan lingkungan pemukiman sekitar, seperti pelebaran jalan titian agar tidak terlalu sempit," katanya saat meninjau ke lokasi kebakaran, Sabtu pagi. dhonny harjo saputro
450.000 Ton Padi Hilang
Jakarta, BPost - Departemen Pertanian (Deptan) memperkirakan ada sekitar 100 ribu hektar (ha) areal persawahan bakal gagal panen akibat musim kering.
Hal itu berdasarkan laporan Deptan ada 24 kabupaten yang tersebar di 14 provinsi di Indonesia tergolong daerah sangat rawan kekeringan serta 10 kabupaten merupakan wilayah rawan kekeringan.
Dirjen Tanaman Pangan Deptan, Sutarto Alimuso di Jakarta, menyatakan, hingga kini kekeringan telah melanda 50 ribu ha sawah sementara 50 ribu ha lainnya terancam kekeringan di beberapa sentra produksi padi. "Oleh karena itu perlu diwaspadai terhadap 100 ribu ha sawah tersebut agar tidak terjadi gagal panen atau puso," katanya.
Menurut dia, jika produktifitas tanaman mencapai 4,5 ton per ha maka angka kehilangan hasil kalau sampai terjadi gagal panen terhadap 100 ribu ha areal persawahan tersebut bisa mencapai 450 ribu ton.
Sutarto meminta Pemda untuk menjaga agar pengairan pada lahan persawahan tersebut tetap lancar sehingga tidak sampai kekeringan yang menyebabkan gagal panen.
Dikatakannya, bencana kekeringan yang melanda areal pertanian tanaman padi saat ini berdampak terhadap penurunan produktivitas lahan sekitar 20-30 persen.
Menurut dia, bulan Juli-Agustus semestinya merupakan masa panen yang kedua untuk musim gadu sehingga untuk masa tanam bulan April, namun banyak petani yang justru masih menanami sawahnya karena pengaruh hujan pada bulan Juni.
Sementara itu Menteri Pertanian Anton Apriyantono menyatakan, melakukan berbagai upaya mengatasi kekeringan dengan membantu pengadaan pompa air. Sedang dananya diambilkan dari dana tanggap darurat Deptan sebesar Rp61 miliar.
Tiga Kabupaten
Sementara itu di Kalsel Kepala Dinas Pertanian Kalsel Sriyono mengatakan ada tiga kabupaten yang harus waspada karena memiliki lahan pertanian bertipikal pasang surut.
"Para petani di Kabupaten Barito Kuala, Tanah Laut dan Banjar segera melakukan tindakan antisipasi supaya padi yang ditanamnya tidak puso atau gagal panen.
Sedang kawasan di luar Kabupaten Kotabaru Juli ini diprediksikan pihak Badan Meteorologi dan Geofisika/BMG telah memasuki masa kering. Namun karena beberapa kawasan masih diguyur hujan, kekeringan belum begitu terasa.
Dijelaskan Sriyono, padi yang ditanam di atas lahan pasang surut tak tahan kalau lahannya kering, sebab berdampak pada intrusi air laut ke lahan tersebut. Jika hal ini terjadi, panen akan gagal dan padi jadi puso.
Berdasarkan data di Dinas Pertanian Kalsel dalam siklus lima tahunan, lahan pertanian yang mengalami kekeringan terparah terjadi Agustus. Pada bulan ini luasan lahan yang kekeringan 2.143,3 hektare dari total lahan rusak akibat kekeringan sebanyak 27.322,3 hektare. ant/niz
Banjar Perlu Rp21 Miliar
Martapura, BPost - Banjir yang melanda Kabupaten Banjar menyebabkan kerusakan infrastruktur yang sangat parah. Untuk perbaikan tanggap darurat pascabencana itu diperlukan dana sekitar Rp21 miliar.
Bupati Banjar HG Khairul Saleh, mengatakan, dana Rp21 miliar itu diperuntukkan perbaikan sarana jalan dan jembatan Rp10,6 miliar, pengairan dan drainase Rp2,8 miliar, sarana air bersih Rp4,6 miliar serta peralatan kesehatan dan rumah sakit lapangan Rp3 miliar.
"Tercatat, ada 124 jembatan yang rusak dan 205 km jalan yang rusak berat dan ringan. Kemudian ada enam buah jembatan yang panjangnya lebih 50 meter terputus, di antaranya jembatan di Desa Pasar Lama, Lok Tangga dan Awang Bangkal Timur Kecamatan Karang Intan serta Tambela Sari (Aranio)," katanya, Selasa (11/7).
Sementara Kadiskimpraswil Banjar Ir Mursal, mengatakan, jumlah dana yang diminta ke pusat tersebut masih ada harapan untuk dikabulkan melalui perubahan APBN.
"Memang, kita mendengar kabar, pada 20 Juni lalu dan tanggap darurat sejumlah Rp1,7 triliun sudah diusulkan pemerintah pusat. Cuma, Kalsel sama sekali tidak termuat dalam fokus bantuan. Ini mudah-mudahan, bisa berubah seiring permohonan ini dan juga lobi anggota DPR dan DPD dari Kalsel," bebernya.
Selain dana tersebut, Pemkab Banjar juga membutuhkan dana yang lebih besar lagi untuk pemulihan ke kondisi awal (recovery). "Dana recovery tidak termasuk dalam penanganan pascabencana. Rancangan recovery tentu lebih besar dan akan disusun menjelang akhir tahun bersamaan penyusunan RAPBD 2007, karena sifatnya sudah permanen," kata Mursal.
Sebelumnya, Pemkab Banjar menerima bantuan dana penanggulangan banjir Rp500 juta dari Gubernur Kalsel H Rudy Ariffin yang berasal dari Menkokesra dan Mensos.
"Kita sudah menerima dana Rp500 juta itu. Rencananya akan digunakan untuk menanggulangi saranan dan prasarana yang rusak akibat banjir seperti jalan dan jembatan. Selain itu, bisa dipakai untuk penanganan kesehatan warga korban banjir dan pemulihan lainnya yang berkaitan akibat banjir," jelas Sekda Banjar Ir H Yusni Anani, Selasa (11/7).
Menurutnya, ada juga kabar gembira dari Gubernur Rudy, Pemkab Banjar dipersilahkan mengajukan permohonan bantuan dana baik untuk pengadaan bibit padi serta ikan. "Kita tahu, banyak petani kita yang rugi akibat padinya rusak terendam air. Begitu pula petani keramba merugi setelah keramba serta ikannya hilang disapu air," katanya.
Disinggung upaya membantu petani keramba membuat lagi kerambanya, Yusni mengatakan, pihaknya akan mencarikan lembaga keuangan yang bisa memberikan kredit lunak bagi petani keramba, sehingga memiliki modal membuat lagi kerambanya.
Sementara terkait janji bantuan 100 ton beras, hingga saat ini masih belum diterima Pemkab Banjar.
Janji bantuan pusat berupa 100 ton beras untuk korban banjir masih ditunggu Pemkab Banjar. Bantuan itu diplot untuk menyantuni 12.607 KK atau 47.588 jiwa yang dianggap paling merasakan dampak banjir dua pekan lalu. adi
Thursday, July 27, 2006
KELAPARAN ANCAM 800 KK DESA SALIMURAN
Bantunan Stop, Sengsaralah Kami
SUDAH dua hari ini pelabuhan ketinting --perahu panjang bermotor khas Tanbu-- di Desa Pagar Ruyung, Pagatan, dipenuhi pengungsi dari Desa Salimuran yang ingin kembali ke kampung mereka. Tak terlihat senyum di bibir para pengungsi ini.
Dengan langkah gontai, para mereka menaiki ketinting, sambil menenteng tas plastik berisi beras, mi instan dan minyak goreng dan gula pasir hasil pembagian jatah selama di pengungsian.
Perjalanan pulang ke kampung halaman mereka tidaklah mulus. Kapal motor yang ditumpangi harus melewati arus deras sungai Kusan yang tidak bersahabat. Setelah satu jam perjalanan, sampailah para pengungsi ini di rumah mereka.
Sejumlah rumah masih terendam hingga lantai. Warga memperkirakan sebulan ke depan barulah rumah mereka benar-benar kering dari air. Itupun jika hujan tidak turun dengan deras selama waktu tersebut.
Warga setempat juga tidak bisa bertani, pekerjaan yang selama ini mereka geluti. Ratusan hektare sawah masih terendam air. Otomatis, tak ada penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Karena itulah, desa yang berpenduduk sekitar 800 kepala keluarga (KK) ini sangat berharap pada bantuan. Mereka terancam kelaparan apabila bantuan dihentikan.
"Kami bergantung kiriman bantuan pemerintah, dinas dan kantor serta sejumlah pengusaha. Kalau sampai stop, sengsaralah kami," " ujar Mulyadi, Ketua Komite Sekolah di Desa Salimuran.
Ancaman kelaparan sangat mungkin terjadi, karena setiap bantuan datang hanya cukup untuk sehari. Seperti yang pernah datang setengah ton beras dan 500 dos mi instan, ketika dibagi 800 KK hanya cukup untuk satu hari.
Di alur sungai Kusan sendiri menjadi alternatif sebagai penyaluran bantuan, terlihat bantuan dikirim melalui ketinting dan ada anggota TNI-AL menggunakan speedboat karet bertuliskan marinir melintas beriringan untuk menjangkau kawasan terisolir tersebut.donny harjo saputra
7.000 Ha Padi Terancam Puso
Martapura, BPost - Imu (58), warga Kampung Melayu Tengah Martapura Timur hanya bisa memandang kosong sawahnya yang berada di tepi Jl KH Sya’rani Arif yang kini seluruhnya terendam air. "Habis sudah sawah kita. Padahal dua bulan lagi sudah panen," ujarnya dengan nada sedih.
Meskipun air luapan Sungai Martapura secara umum sudah mulai turun, namun ratusan hektare sawah di kampungnya kemungkinan besar puso, karena air sangat sulit untuk surut karena terhalang jalan. Kondisi serupa juga terjadi di Desa Pingaran Ilir. Johan (60), warga setempat mengatakan, sawahnya seluas 2 hektare seluruhnya terendam air dan kemungkinan besar puso.
Sebagian sudah ada yang menguning, sebagian lagi sudah mulai berisi. "Kalau air lama menggenang, kemungkinan habislah seluruh padi kita. Kondisi yang sama juga dialami petani lainnya, tak kurang 40 hektare sawah ada di desa kami," ucapnya.
Baik Imu maupun Johan berharap Pemkab Banjar membantu pengadaan bibit untuk menghadapi musim tanam berikutnya. "Kami berharap, ada bantuan bibit padi sehingga kami bisa bertani selepas banjir ini," katanya.
Menurut Kadistan Banjar Eddy Hasbie, berdasarkan data sementara luasan sawah yang terendam di beberapa kecamatan seperti Astambul, Mataraman, Martapura Barat, Martapura Timur dan Martapura mencapai 7.000 hektare.
"Kita masih terus mendata dengan melibatkan petugas penyuluh lapangan dan mantri pertanian. Nanti, akan kita klasifikasi dari luasan itu apakah termasuk yang terancam puso atau sudah puso," ungkapnya.
Untuk memenuhi keinginan petani, pihaknya harus mengetahui terlebih dahulu jumlah luasan lahan yang padinya puso. Barulah mengupayakan bantuan penanganan pascabanjir ke pusat.
"Kemungkinan bantuan itu ada sekitar September dan Oktober. Tetapi, kendalanya bantuan itu belum pasti ada. Kalaupun ada, terbentur dengan masuknya musim penghujan di bulan itu. Kita khawatir bantuan itu kurang efektif, tetapi justru dijadikan bahan makanan bagi petani," tuturnya.
Di Mataraman, Astambul, Karang Intan dan sebagian Martapura Timur, warga terlihat mulai membersihkan rumahnya yang terendam air. Konsentrasi pengungsian juga sudah mulai ditinggalkan.
Di sepanjang Jl A Yani, Tambak Anyar Martapura Timur, warga membersihkan perabot rumah tangga yang terkena lumpur. Kursi dan kasur tampak dijemur di depan rumah. Karena belum bisa menggarap sawah yang masih terendam, warga masih mengharapkan uluran tangan dari pengguna jalan.
Sementara ketinggian air terlihat meningkat di Martapura Barat dan Sungai Tabuk. Di Kantor Camat Martapura Timur telah dibuka posko bencana dan dapur umum. Meski belum ada konsentrasi pengungsian, segala sesuatunya telah disiapkan jika sewaktu-waktu terjadi evakuasi besar-besaran pengungsi, kata Camat Martapura Timur Irwan Kumar. adi
LUMPUR TENGGELAMKAN DUSUN LIBURU BARAS (2-HABIS)
"Kami Trauma Hidup Di Sana Lagi"
Hancur Lebur. Pemandangan menyedihkan terlihat di mata kami ketika memasuki Dusun Liburu Baras, Desa Limbur. Tak ada lagi bangunan yang berdiri. Tak ada mahluk hidup yang dapat kami ajak ngobrol seperti biasanya. Semua tinggal kenangan. Yang tersisa hanyalah gundukan tanah dan lumpur bercampur puing-puing bangunan.
Setelah beberapa jam melihat situasi dusun yang tak mungkin dihuni lagi itu, kami pun kembali ke Dusun Gadang. Perjalanan berat bahkan terasa lebih berat karena rasa lelah luar biasa menyelimuti seluruh anggota tim yang sengaja mengunjungi dusun itu guna memastikan perlu tidaknya relokasi bagi warga Dusun Liburu Baras.
Hampir tengah malam ketika tim dan wartawan BPost, Donny Hardjo Saputro menyentuh bibir Dusun Gadang. Suasana masih ramai. Warga terlihat masih bersantai di teras rumah, menjaga warung kelontongnya, bermain bulu tangkis atau nongkrong di warung kopi dan lainnya.
Di sinilah 24 warga Dusun Liburu Baras mengungsi. BPost langsung menuju rumah sementara salah satu pengungsi, Arif dan keluarganya. Setelah melewati jalan di tengah kebun sepanjang 100 meter, rumah itu terlihat. Tidak ada penerangan listrik di rumah itu, yang ada hanya lampu sumbu minyak tanah dari sebuah botol kecil.
Bertelanjang dada, Arif menceritakan kembali peristiwa yang nyaris merenggut nyawa dia dan keluarganya. "Ulun kira sudah mati, kada selamat lagi waktu tanah longsor menghantam rumah. Kayu, batu dan lumpur jadi satu menimpanya," terangnya.
Melihat tanah perbukitan terus berguguran, ia langsung menarik tangan istri dan anak-anaknya untuk berlari sejauh-jauhnya dari dusun itu, "Saat itu yang terpikir bagaimana kami selamat. Terus terang, sampai saat ini kami masih trauma, bingung mau tinggal dan kerja di mana. Kembali ke Liburu Baras tidak mungkin lagi karena sudah luluh lantak dan tidak mungkin didiami lagi. Kami tak ingin jadi korban," tandasnya. Matanya terlihat nanar. Dia tak mampu lagi meneruskan ceritanya ditelan kesedihan luar biasa.
Untung saja, Pemkab Kotabaru sigap bergerak. Bupati Sjachrani Mataja langsung menginstruksikan agar seluruh warga Liburu Baras direlokasi ke pemukiman yang berada di kawasan Sungai Hawakai.
Kawasan ini harus ditempuh selama tiga jam melalui perjalanan kaki, menyusuri Sungai Gagayan. Kawasan ini dipilih karena letaknya tidak berada di lereng gunung, sehingga aman dari bencana tanah longsor.
Banjar Kehabisan Dana Bencana
Martapura, BPost - Banjir, yang mendera 132 desa di 12 kecamatan di Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, sejak 26 Juni 2006, tidak hanya menewaskan dua warga dan membuat 21.709 kepala keluarga atau 103.000 jiwa mengungsi. Bencana tersebut juga menimbulkan kerugian Rp 155.985. 770.000.
Kerugian yang mendekati Rp156 miliar tersebut dilaporkan Bupati HG Khairul Saleh kepada Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie, Selasa (3/7).
Sementara itu pada saat kawasan hulu Sungai Martapura mulai surut, banjir masih berlangsung di Kecamatan Martapura Barat dan Sungai Tabuk. Pemkab Banjar kesulitan memberikan bantuan karena tidak punya uang lagi. "Pos dana tak tersangka di APBD Banjar 2006 sebesar Rp1.219.080.000 sudah habis untuk para pengungsi," ujar Khairul.
Kerugian akibat banjir dihitung dari rusaknya lahan pertanian non teknis seluas 20.000 hektare. Ini setara dengan Rp60 miliar.
Kemudian lahan pertanian teknis 1.000 hektare atau sekitar Rp3 miliar.
Kadistan Banjar Eddy Hasbie menerangkan sawah terendam itu berada di kawasan hulu Riam Kiwa seperti di Kecamatan Pengaron 71 hektare, Mataraman 142 hektare, Astambul 769 hektare, Martapura Timur 190 hektare, Martapura Kota 235 hektare dan Martapura Barat 365 hektare. Yang lainnya, masih dalam pendataan.
Perikanan budidaya dengan keramba yang rusak sebanyak 5.200 buah dengan kerugian ditaksir Rp20.972. 970.000.
Menurut Kadiskanlut Banjar HM Daylami menerangkan daerah perikanan yang mengalami musibah adalah Kecamatan Karang Intan. Di sini terdapat usaha budidaya ikan dalam keramba dan Balai Benih Ikan Diskanlut Banjar.
Budidaya ikan keramba milik masyarakat yang rusak diperkirakan 80 persen dari 5.200 keramba. Harga keramba Rp1,5 juta/buah, harga benih ikan Rp200/ekor, jumlah ikan dalam keramba rata-rata 600/keramba dan harga ikan konsumsi Rp 12.000/kg.
Jika setiap item dikalikan 5.200 keramba, maka kerugian bahan keramba mencapai Rp7,8 miliar. Kemudian kerugian benih Rp624 juta dan kerugian ikan konsumsi Rp12,48 miliar. Total kerugian usaha keramba masyarakat adalah Rp20,904 miliar.
"Selain usaha masyarakat, kita juga mengalami kerugian yang cukup besar akibat 26 kolam Balai Budidaya Ikan (BBI) Banjar di Karang Intan juga terendam air. Untuk benih yang hilang mulai bibit gurami, nila dan lele diperkirakan Rp9.650. 000. Adapun kerugian induk ikan patin, mas, nila merah, nila hitam, gurami, bawal dan lele diperkirakan Rp59. 320.000," paparnya.
Keramba-keramba tersebut tersebar di sepanjang aliran Sungai Riam Kanan seperti di Desa Awang Bangkal Timur, Awang Bangkal Barat, Batu Hitam, Mandikapau Barat, Mandikapau Timur, Sungai Asam, Sungai Alang, Sungai Landas, Karang Intan, Lok Tangga, Mali Mali, Sungai Arpat dan Jingah Habang.
Selain itu, fasilitas umum seperti jembatan, sekolah dan puskesmas yang rusak akibat banjir ditaksir senilai Rp 72 .012.800.000.
Ada 124 jembatan yang rusak, hanyut dan putus. Di Sungai Pinang dan Aranio ada jembatan yang hanyut. Di Simpang Empat empat jembatan hanyut dan satu putus.
Di Karang Intan, tiga jembatan rusak parah, sebuah hanyut dan satu putus.
Adapun badan jalan yang terendam dan rusak sepanjang 188 kilometer. Terbanyak di Karang Intan.
"Dengan kondisi ini, sementara dana kita sudah sangat terbatas, maka Pemkab Banjar secara resmi meminta pemerintah pusat memberikan bantuan baik jangka pendek untuk menangani pengungsi maupun jangka panjang untuk membiayai perbaikan fasilitas umum yang rusak," kata Khairul, yang didampingi Sekda Banjar Yusni Anani dan Kadinkessos Rendra Fauzi.
Disinggung permintaan petani padi soal bibit, bupati Banjar mengatakan pihaknya akan mengupayakan pengadaan bibit unggul 100 hari, sehingga bisa mengejar waktu musim tanam yang tersisa.
"Untuk petani keramba, kita akan upayakan kemudahan sehingga para petani bisa dengan mudah memperoleh pinjaman dari koperasi atau perbankan sektor UKM untuk modal usaha mereka," bebernya.
Sementara untuk perbaikan fasilitas umum, pihaknya telah mengirimkan Kasubdin Bina Marga Kimpraswil untuk melobi pusat agar mengucurkan bantuan perbaikan fasilitas umum yang sangat vital bagi masyarakat.
5,5 Ton Biskuit
Munculnya penyakit seperti diare maupun gatal-gatal pada korban banjir diakui Kepala Dinas Kesehatan (Kadinkes) Kalsel Rosihan Adhani. Petugas kesehatan di setiap daerah banjir maupun posko pengungsian diharapkan bisa mengatasinya.
"Bahkan, kita (Dinkes Kalsel) sudah dua kali mengirim tim medis yakni di daerah Banjar dan Tanah Bumbu," katanya di sela coffe morning, kemarin.
Untuk mengantisipasi kekurangan gizi pada para balita maupun ibu menyusui di daerah banjir, Dinkes Kalsel menerima bantuan dari pusat berupa 5,5 ton biskuit sebagai makanan pendamping ASI (MPASI).
"Sebanyak, 1,5 ton sudah kita kirim ke lokasi banjir yang terjadi di Banjar. Sementara, 4 ton sisanya masih dalam perjalanan dari Jawa," kata Rosihan.
Selasa malam, Wakil Gubernur Rosehan NB melakukan rapat mendadak dengan beberapa dinas terkait, Danlanal, Danlanud di kediaman dinasnya.
Rapat membahas penanganan banjir di Kabupaten Banjar, Tanah Laut, Tanah Bumbu dan Kotabaru.
Terkait dengan perbaikan infrastruktur seperti jalan dan jembatan, Rosehan mengungkapkan Pemprov Kalsel akan menganggarkan dana tanggap darurat sebesar Rp5 miliar. Dana tersebut diperoleh dari dana sisa tender.
"Dana tersebut akan kita ajukan ke dewan secepatnya, dan kami kira akan disetujui. Untuk perbaikan jalan dan jembatan mulai kita lakukan besok (hari ini) perkiraan kami sampai tanggal 16 Juli mendatang semua kelar," tandasnya.mdn/ais/adi
Hulu Kintap-Jorong Rusak
Pelaihari, BPost - Banjir bandang yang melanda sejumlah desa di Kabupaten Tanah Laut beberapa hari lalu, dilaporkan akibat rusaknya bentang alam di bagian hulu Kecamatan Kintap dan Jorong. Tegakan pohon di kedua wilayah itu, terus menyusut akibat illegal logging dan illegal mining.
Data Dinas Kehutanan Tala memetakan parahnya kerusakan yang terjadi, dari total kawasan hutan 131.718 hektare (27.414 hutan lindung dan 104.404 hutan budidaya), tercatat 48.887 hektare kondisinya kritis.
Ironisnya, kerusakan hutan tersebut juga menjamah kawasan lindung yang diharapkan menjadi penyangga ekosistem. Angka kekritisannya mencapai 7.195 ha. Sementara, hutan produksi yang kritis mencapai 69 ha, dan 41.000 ha pada hutan di luar kawasan.
Dishut Tala beberapa tahun terakhir intensif melaksanakan gerakan rehabilitasi lahan dan hutan (gerhan). Program ini berjalan sukses, ditandai adanya pengakuan Dephut beberapa waktu lalu.
Namun upaya itu belum menjamah seluruh lahan kritis, termasuk bagian hulu Kintap dan Jorong, yang telah rusak akibat penebangan liar kemudian diperparah penambangan batu bara tanpa izin (peti).
Kepala Dishut Tala, Ir Aan Purnama MP, mengakui bagian hulu di dua wilayah itu mengalami kerusakan. "Sesuai hasil survei Unlam pada 2005, bagian hulu Kintap dan Jorong rawan illegal logging dan mining."
Aan mengatakan, pengamanan dan rehabilitasi hutan/lahan menjadi salah satu program prioritasnya. Masyarakat bawah terus dilibatkan secara aktif dalam upaya pelestarian lahan dan hutan.
"Kami juga terus meningkatkan koordinasi dengan kepolisian dalam memberangus illegal logging. Alhamdulilah, penebangan liar saat ini bisa dikatakan tidak ada lagi," sebut Aan didampingi Kabid Rehabilitasi Lahan dan Pembinaan Hutan Ir Akhmad Hairin. roy
Diare Serang Korban Banjir
Kotabaru, BPost- Hj Masrofah (50) hanya bisa berbaring di rumahnya di Dusun Gadang Desa Cantung Kanan Kecamatan Hampang Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan. Istri H Astani ini sudah tiga hari terserang diare. Dua botol infus dan obat terlihat di samping kasurnya.
Keluarga Masrofah merupakan satu dari ribuan warga yang menjadi korban banjir dan tanah longsor. Mereka tak hanya bingung karena tempat tinggal tergenang, tetapi juga kesulitan mendapatkan makanan dan air bersih. Berjangkitnya penyakit seperti diare menjadi momok baru bagi mereka.
Kepala Puskesmas Hampang dr Zwasta PM mengatakan hingga akhir pekan lalu pihaknya menangani 18 penderita diare. Enam kasus di antaranya terjadi pascabanjir.
"Penderita berasal dari Dusun Malangkayan Desa Cantung Kanan, Dusun Gadang, Hapungu dan Lalapin. Kita akui, kasus diare meningkat namun belum bisa dikatakan Kasus Luar Biasa (KLB)," terangnya.
Sementara itu selain diare, warga Mali-Mali Kecamatan Karang Intan Kabupaten Banjar, yang juga kebanjiran, mulai diserang gatal-gatal.
Tim relawan yang dikoordinir Walhi Kalsel saat telah mengobati sekitar 40 balita dan orang dewasa yang terserang diare.
"Tidak ada yang diinfus atau dirujuk ke rumah sakit," kata Ina, koordinator Posko Bencana Banjir Walhi Kalsel di Banjarbaru.
Diare yang menyerang warga Mali-Mali diduga akibat kurang tersedianya air bersih. Satu-satunya sumber air yang dipergunakan warga saat pulang dari pengungsian adalah air Sungai Riam Kiwa yang baru saja meluap.
Sedang untuk mengatasi penyakit gatal, tim relawan Walhi tak dapat berbuat banyak karena kekurangan obat.
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Banjar dr Toto Mediyanto saat dikonfirmasi mengaku akan mengecek kebenaran serangan diare. Ia pun mengaku kalau posko yang diperlukan warga sebenarnya ada.
"Posko itu bukan di Mali-Mali tapi di Padang Panjang. Kita akan cek dan segera tangani jika itu benar," tandasnya. dhs/niz/adi
LUMPUR TENGGELAMKAN DESA LIBURU BARAS (1)
Dusun Itu Bak Kota Mati
Seminggu lalu, banjir bandang dan tanah longsor memporakporandakan tiga desa di Kecamatan Hampang, Kotabaru. Salah satu lokasi terparah adalah Dusun Liburu Baras, Desa Limbur. Desa itu kini bagaikan kota mati. Tidak ada denyut kehidupan di sana.
Dusun Liburu Baras hanyalah dusun kecil yang susah ditemukan di peta Kalimantan Selatan. Luasnya hanya 60 meter berhadapan langsung dengan Sungai Riti. Warganya pun cuma berjumlah 8 KK atau 24 jiwa.
Kini mereka tak lagi bisa seperti dulu. Dusun yang telah dihuni puluhan itu hancur karena diterjang banjir dan tanah longsor. Bahkan lumpur dengan ketinggian satu meter menenggelamkan tanah leluhur mereka. Sementara, mereka mengungsi ke Dusun Gadang, Desa Cantung Kanan.
Akhir pekan tadi, wartawan BPost, Donny Hardjo Saputro bersama sejumlah anggota Polres Kotabaru dan tokoh masyarakat setempat mengunjungi dusun yang sempat menghebohkan negara ini dengan adanya kabar seluruh warganya tewas tertimbun tanah longsor itu.
Dari Dusun Gadang ke Dusun Liburu Baras, jaraknya hanya 5 kilometer. Namun rombongan harus menempuhnya selama 6 jam. Kenapa? Jalan yang harus ditempuh sudah berubah menjadi lautan lumpur. Untuk melaluinya hanya bisa dilakukan dengan jalan kaki.
Keluar dari Dusun Gadang, tantangan pertama adalah jalan menanjak dengan kemiringan 60 derajat. Semakin ke atas, perjalanan semakin berat terutama di sekitar Lubuk Pasinjangan. Di sini hamparan lumpur sepanjang 300 meter dengan kedalaman satu meter menghadang siapa pun yang ingin melewatinya.
Lepas dari itu, terbentang Sungai Gagayan dengan arus dair yang cukup deras. Untuk melewati hanya tersedia sebuah sebatang kayu yang berfungsi sebagai jembatan. Agar bisa selamat ke seberang, semua harus ekstra hati-hati karena licin.
Titik parah kedua ditemui di sekitar Sungai Miyati. Jalan sepanjang 500 meter ini terputus oleh waduk kecil dengan diameter 40 meter dan kedalaman dua meter. Di ujung jalan ini, terlihat di depan mata, kaki Gunung Batis Kelawan dan Muncung Hanya. Namun kondisi dataran tinggi itu ambrol karena digerus air hujan.
Seorang warga Dusun Liburu Baras yang menjadi pemandu mengatakan sebelum bencana itu, jalan itu sering dilewati dengan menggunakan kendaraan roda dua. "Semua hancur. termasuk dusun kami. Tidak semua orang bisa masuk ke dusun kami lagi. Kini sudah tidak ada lagi penghuninya," keluhnya.
Batang-batang pohon besar yang roboh makin membuat jalan sulit dilewati. Apalagi tak jauh onggokan batang-batang pohon itu, jalanan kembali ditutupi endapan lumpur basah dengan ketinggian lebih dari satu meter.
Tepat di saat habisnya tenaga yang terkuras karena berulangkali menyibak lautan lumpur dan jalan mendaki dengan kondisi rusak parah, Agus, tokoh Dusun Gadang yang bergabung dalam rombongan itu meminta perjalanan dihentikan.
"Kita tak bisa memaksakan diri. Istirahat dulu karena jalan-jalan di depan kita kondisinya lebih parah," katanya sambil menyulut rokok. *
GANASNYA BANJIR MARTAPURA
Bocah 9 Bulan Itu Hidup Sendiri
Berat nian cobaan yang diterima Ahmad Firdaus. Sang ibunda meninggal saat melahirkan dirinya, Kini, karena banjir, bocah yang baru berusia 9 bulan itu hidup sendiri, terpisah dari ayah dan kedua kakaknya.
Enam hari sudah Firdaus hidup dalam belas kasihan orang lain. Dia tak lagi berkumpul bersama keluarganya. Ayahnya, Abdul Hamid (35) harus bekerja di luar kota sebagai buruh serabutan. Dua kakaknya, Ahmad Jarkasi (17) dan Meliana Ulfah (13) mengungsi di rumah saudaranya di kawasan Cempaka, Banjarbaru. Rumahnya di Bincau Tengah RT3, Martapura Kota, tenggelam ditelan air bah.
Firdaus sendiri kini dipelihara oleh Sarkani (30), kerabat jauhnya di Desa Mandiangin Timur. "Kasihan dia, sejak kecil harus mengalami nasib seperti ini," ujar neneknya, Masliah (65) kepada BPost, Sabtu (1/7).
Banjir yang menenggelamkan sejumlah wilayah di Kabupaten Banjar memang menyisakan banyak cerita sedih. Meski secara perlahan-lahan, ketinggian air mulai surut. Para pengungsi pun secara berangsur-angsur kembali ke rumahnya. Namun ada juga yang tetap memilih bertahan di pengungsian.
Di Kecamatan Astambul, warga Desa Pasar Jati, Danau Salak, Banua Anyar Danau Salak dan Tambak Danau mulai ramai-ramai membersihkan rumahnya. Menurut Camat Astambul, Bambang Tenggono, selama beberapa hari ini ribuan warganya mengungsi di Gunung Balai, lapangan bola Danau Salak, Gunung Sari dan Gunung Alas.
Di Kecamatam Martapura dan Karang Intan banjir juga mulai surut. "Sejumlah desa seperti Mandiangin, Lok Tangga, Pasar Lama, Karang Intan, Sungai Arpat, Mali Mali, Pandak Daun, Jingah Habang Ulu, Jingah Habang Ilir masih terendam tapi tak dalam lagi," kata Camat Karang Intan, Yahmi Yadi.
Meski demikian ribuan warga masih bertahan di pengungsian, di Lok Tangga terdapat 1.515 KK, Bukit Bincau 600 KK, Mandiangin 600 KK dan Padang Panjang 128 KK.
Di tengah derita ini, hingga Sabtu (1/7) siang belum ada respon dari Pemprov Kalsel maupun Pemerintah Pusat terhadap pernyataan Bupati Banjar HG Khairul Saleh yang menyatakan saat ini pemkab setempat kekurangan stok pangan untuk pengungsi yang berjumlah 82.122 jiwa.
"Stok yang ada diperkirakan hanya bertahan hingga Minggu (2/7). Kita tidak tahu apa harus bagaimana nanti jika Senin (3/7) tidak ada bantuan dari Pemrov Kalsel dan Pemerintah Pusat atau para dermawan," jelasnya.
Dia mengaku Pemkab Banjar sudah mengirimkan surat ke Gubernur Kalsel dan Mensos. "Mungkin besok akan kita tindak lanjuti lagi langsung ke Mensos. Untuk menanggulangi bencana ini, kita sudah mengeluarkan dana sekitar Rp1,2 miliar," ujarnya. mtb/awj/ofy/adi
Tanbu Siaga I
Batulicin, BPost - Pemerintah Kabupaten Tanah Bumbu menetapkan siaga I atas bencana yang melanda wilayah mereka. Dengan status ini,pemerintah setempat juga menyatakan menyiagakan posko 24 jam untuk melakukan perencanaan langkah penanganan banjir.
"Kita sudah menyatakan keadaan ini sebagai siaga I dan posko dibuka 24 jam untuk melakukan perencanaan langkah penanganan banjir," ujar Bupati Tanbu, dr H Zairullah MSc, Jumat (30/6).
Dia mengatakan, data terakhir yang masuk ke Pemkab, di Sungai Loban ada tiga desa yang terkena banjir dengan jumlah mengungsi di 1.921 jiwa, Satui tercatat 17.544 jiwa, Kusan Hilir 19 desa dan yang mengungsi 11.900 jiwa ditambah Batulicin.
Sedangkan kerugian materiil, perhitungan sementara mencapai Rp46 miliar.
"Hingga hari ini laporan yang masuk kerugian dari faslitas umum seperti sekolah, jalan putus, masjid, bangunan rumah penduduk dan lainnya mencapai sekitar Rp46 miliar," katanya.
Menurut Zairullah, pemkab terus mendistribusikan bantuan baik melalui jalur darat yang masih bisa dilalui, transportasi air, hingga menggunakan helikopter.
Zairullah juga berjanji memberikan bantuan jatah hidup pasca banjir bagi semua korban banjir yang kehilangan mata pencaharian.
Sementara, arus lalu lintas yang melintas melewati jalan Banjarmasin-Batulicin kembali terputus di Pagatan karena jembatan Sungai Lembu putus. Hanya kendaraan roda dua dan pejalan kaki yang bisa melintas.
Warga Limbur
Dari pantauan BPost di Dusun Limbur Baras, Kabupaten Kotabaru, untuk menghindari banjir dan longsor susulan warga setempat diungsikan ke Dusun Meisi di kaki Gunung Meratus.
Kebijakan mengungsikan ke 24 warga Limbur Baras tersebut, dilakukan Bupati Kotabaru H Sjachrani Mataja usai meninjau ke lokasi banjir dan tanah longsor. Pasalnya, dusun yang terletak di kaki Gunung Meratus tersebut rawan longsor, selain hutan yang ada gundul juga terdapat penambangan emas.
Warga sekitar memang bermatapencaharian sebagai petani dan penambang emas tradisional. Namun, sejak terjadinya musibah banjir dan tanah longsor yang menimpa Malengkayang, Gadang dan Limbur Baras, aktivitas penambangan emas dihentikan untuk sementara waktu. dhs
Banjir Ke Banjarmasin
Martapura, BPost - Warga yang tinggal di daerah perbatasan Kabupaten Banjar dan Kota Banjarmasin diminta waspada. Banjir yang melanda daerah hulu Banjar mengarah daerah perbatasan dan selanjutnya menuju ibukota Provinsi Kalimantan Selatan.
"Warga Kecamatan Sungai Tabuk harus waspada. Air bah bergerak ke Banjarmasin. Daerah perbatasan Banjar tersebut diperkirakan mendapat giliran terendam banjir dalam beberapa hari ke depan," kata Kepala Dinas Kesejahteraan Sosial Banjar Hendra Fauzi MAP, Jumat (30/6).
Banjir akan semakin tinggi bila terjadi pasang tinggi dari Banjarmasin.
Bencana tersebut kembali menewaskan warga Banjar. Geron (72), yang tinggal di Pasar Jati Kecamatan Astambul, meninggal akibat terseret arus saat hendak mengungsi. Selasa lalu, Amanah (32), ibu rumah tangga di Desa Bincau Muara Kecamatan Martapura Kota tewas setelah terjatuh ke sungai.
Di Astambul, konsentrasi pengungsian berada di Gunung Balai. Ada pula yang mengungsi Danau Salak hingg Kota Banjarbaru. Banjir parah masih terjadi di Munggu Raya dan Limamar.
Setelah banjir di Mataraman dan Astambul menyurut, giliran Martapura Timur, Martapura Kota dan Martapura Barat yang terancam. Dikatakan Camat Martapura Timur Aidil Basith, 20 desa di wilayahnya mulai terendam.
Sementara di Martapura Kota, air terus naik meski gerakannya tidak cepat. Di Desa Tambak Baru, ketinggian air dalam rumah masih satu meter. Begitu juga Kelurahan Murung Keraton, Tanjung Rema, Tunggul Irang, Bincau, Bincau Muara dan Keraton yang dekat dengan persawahan. Di Sungai Sipai, air juga mulai menyebar.
Di Martapura Barat, air juga mulai menggenangi hampir seluruh desa di wilayah itu. Menurut Camat Martapura Barat Irwan Kumar, desa-desa yang mulai terendam antara lain Teluk Selong, Rangkas, Sungai Rangas, Sungai Batang dan Hambuku.
Para pengungsi mengharapkan bantuan para dermawan. Apalagi stok pangan untuk korban banjir di Banjar hanya cukup sampai Minggu. Bupati HG Khairul Saleh kebingungan mengupayakan anggaran karena sebelumnya mengucurkan Rp1,2 miliar melalui Satkorlak.
"Kami sudah mengirim surat ke gubernur dan menteri. Kalau tidak ada bantuan segera, kami tidak tahu lagi harus mengupayakan bantuan dari mana lagi. Kami angkat tangan, karena stok yang ada hanya cukup untuk dua hari," tutur Khairul, kemarin.
Satkorlak hingga hari kelima membuat 23 dapur umum. Kepala Dinkesos Banjar Hendra Fauzi mengatakan pihaknya mengeluarkan beras 12 ton per hari. Sementara persediaan yang ada tinggal 26 ton. adi/sig/niz/coi
Derita Siswa Korban Banjir Martapura
Berenang Satu Kilometer Menjemput Rapor
Banjir besar menenggelamkan beberapa wilayah di Kabupaten Banjar. Kesedihan dan penderitaan menjadi teman karib sehari-hari. Ini pula yang dialami Normasari. Dia harus berenang sekitar satu kilometer untuk mengambil rapor.
Jumat (30/6), M Sauni duduk dengan gelisah di sebuah kursi plastik di atas tanah di tepi Jalan Kertak Baru. Di sampingnya berdiri sejumlah guru yang memegang tumpukan buku rapor.
Mata pria berusia 52 tahun ini, menatap kosong ke halaman sekolah yang dipimpinnya, SDN Pekauman 2, Martapura Timur. Sekolah itu kini bak berada di tengah sungai karena dikelilingi air setinggi satu meter.
Karena banjir itu pula, Sauni dan para guru terpaksa berada di tanah lapang yang letaknya lebih tinggi. Setengah hari mereka berada di situ, menunggu kedatangan murid-muridnya. Bukan untuk menjalankan proses belajar mengajar namun untuk membagikan buku rapor kepada 109 murid.
"Kami terpaksa membagikan di sini. Tidak mungkin di sekolah. Ruang-ruang kelas digenangi air setinggi setengah meter. Bahkan di halaman itu, ketinggian air bisa mencapai satu meter," ujar Sauni.
Tiba-tiba Sauni dan para guru dikejutkan dengan kedatangan seorang perempuan kecil. Dia mengenakan kaos oblong kuning dan celana dua pertiga kaki warna hitam. Kakinya tidak terbungkus sepatu atau berlapis sandal. Tubuhnya dari kaki hingga setengah badan, basah kuyup. Dengan agak menggigil, perempuan kecil itu mendekat. Menyalami dan mencium tangan Sauni dan guru-gurunya.
"Normasari ya?" ujar Sauni. Setelah meminta bocah bernama Normasari itu, Sauni mengambil sebuah buku rapor yang memang telah dipersiapkan. "Selamat ya, kamu lulus dengan nilai terbaik ketiga," kata Sauni sambil membelai punggung bocah itu.
Kepada BPost yang berada di situ, Normasari mengaku terpaksa datang ke sekolah cara cara menembus genangan air. Bahkan seringkali dia harus berenang. Apalagi genangan air yang harus dilewatinya lebih tinggi dari tubuhnya.
Jalan sepanjang sekitar 1 kilometer dari rumahnya di Pekauman Ulu hingga sekolah memang masih ditenggelamkan oleh air bah.
"Ya, terpaksa. Hari ini kan pembagian rapor," ucapnya.
Perjuangan lebih berat dilakukan Normasari saat pulang ke rumahnya.
Dia harus berulangkali mengangkat tangannya yang memegang rapor agar tidak terkena air saat berenang.
"Banjir kali lebih besar dari tahun-tahun sebelumnya. Dulu memang banjir tetapi tidak sampai menganggu proses belajar mengajar. Pembagian rapor pun masih bisa dilakukan di sekolah. Baru kali ini saya mengalaminya," keluh Sauni.
Tidak hanya sekolah itu saja yang terendam banjir. Menurut Kadisdik Banjar, Drs Fathurrahman, akibat banjir yang melanda Mataraman, Astambul, Martapura, Martapura Barat dan Martapura Timur, paling tidak 100 lebih SDN terendam, 5 SMPN dan 1 SMAN. adi permana
[bencana] Ribuan Siswa Pun Diliburkan
Banjarmasin Post; Rabu, 19 April 2006 02:47:14
BANJIR yang melanda wilayah Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah
selam a sepekan terakhir ini, kini mulai berdampak pada dunia pendidikan
di daerah tersebut. Beberapa sekolah terpaksa meliburkan siswanya,
karena gedung temp at belajar dan mengajar terendam.
Tak tanggung-tanggung, jumlah yang diliburkan itu mencapai ribuan siswa.
Bi sa dipahami, karena banjir yang diakibatkan meluapnya Daerah Aliran
Sungai (DA S) Barito itu, kini terus meluas.
Tidak ada tanda-tanda banjir akan menyurut. Ketinggian air justru
mencapai sekitar dua meter, atau meningkat 50 cm dari sehari sebelumnya.
Berdasar informasi dan pantauan BPost di Muara Teweh, kemarin (18/4),
sejum lah sekolah yang terendam banjir itu, gedung sekolahnya berada di
pinggiran DAS Barito yang tersebar di wilayah Kecamatan Lahei, Teweh
Tengah dan Montallat.
Sekolah yang menghentikan kegiatan belajar dan mengajar ini juga dialami
sekolah yang tidak terendam banjir, namun jalan di sekitar lingkungan
sekol ah terendam banjir.
Sekretaris Camat (Sekcam) Teweh Tengah, Eveready Noor SE mengakui,
beberapa kepala desa sudah memberitahukan kepada pihaknya mengenai
sekolah yang diliburkan.
Murid sekolah yang diliburkan di wilayah Kecamatan Teweh Tengah sebanyak
1. 310 orang pada 14 SD dan TK berada di pinggiran sungai Barito
tersebar di Kelurahan Melayu, kelurahan Jambu, desa lemo, Bintang
Ninggi, Buntok Baru, dan Pendreh. "Data itu berdasarkan laporan secara
lisan sejumlah kepala des a kepada pihak kecamatan," katanya.
Kepala Dinas Pendidikan Barut Drs Masdulhaq mengakui, gedung sekolah
yang terendam banjir ini jumlahnya cukup banyak, namun belum ada yang
melaporkan secara resmi kepada pihaknya. "Kita beri toleransi terhadap
sekolah yang libur akibat banjir dan merupakan kewenangan pihak
sekolah," katanya.
Selain merendam bangunan sekolah, banjir kali ini juga merendam ribuan
ruma h penduduk dan pusat kesehatan masyarakat di empat kecamatan di Barut.
Berdasarkan data yang ada di satuan pelaksana penanganan bencana
pengungsi (Satlak PBP) di kantor Dinas Kesbanglinmas Barut, baru satu
kecamatan yang melaporkan kondisi daerahnya yakni Kecamatan Teweh Tengah.
Di kecamatan itu sebanyak 842 rumah, delapan sekolah, lima puskesmas,
lima kantor desa dan sembilan tempat ibadah, serta 359 hektare sawah
serta kebun karet terendam.
Menurut Seketaris Satlak PBP yang juga Kepala Dinas Kesbang Linmas Barut
Dr s Tenggara Tawang, ketinggian air saat ini diperkirakan mencapai 1,5
meter.
Beberapa posko, dengan link Informasi di telekda Pemkab Barut, juga
sudah mulai diaktifkan. Hingga saat ini, belum dilaporkan ada warga yang
mengungs i akibat banjir ini.
"Hingga sekarang banjir masih bisa dikatakan normal, jadi belum
ditetapkan status siaga satu. Kita berpatokan di depan kantor Polres
Barut, jika di si tu mulai terendam baru kita berlakukan siaga," kata
Tenggara.
Menurut anggota DPRD Barut dari Komisi A, Aprian Noor, seharusnya
pemerinta h mengantisipasi banjir sejak dini, dengan membuat perencanaan
yang matang mengenai pembangunan infrastruktur, terutama sekolah-sekolah
dan tempat pelayanan kesehatan yang berada di daerah yang rawan banjir.
"Pemerintah tidak ada inisiatif. Pemerintah baru bertindak setelah
terjadi bencana. Daerah kita kan mulai tahun 50 an sudah biasa
terendam, namun hing ga kini tidak ada solusi mengenai bencana ini"
tegas Apri.
Berdasar pantauan BPost, warga yang rumahnya terendam sudah memindahkan
bar ang perabotan maupun keluarganya ke daerah yang tidak terjangkau
banjir. Namun, banyak pula yang bertahan, meski air sudah menggenangi
separo tinggi rumah mereka. Mereka memilih mendirikan panggung dalam
rumah untuk menyelamatkan perabotannya.
"Kami tetap bertahan di dalam rumah dengan mendirikan panggung, karena
menj aga perabotan agar tidak terendam atau jatuh ke dalam air," ujar
Ancah, warga Gang Paraguay. Di kawasan itu ketinggian air hampir dua
meter. ck7
Atasi Banjir dengan Alur Barito
Radar Banjarmasin; Selasa, 16 Mei 2006
BANJARMASIN - Banjir yang melanda 9 kecamatan di Kabupaten Barito Kuala
(Batola), mendapat perhatian serius DPRD Kalsel. Para wakil rakyat ini
mendesak agar Pemprov Kalsel segera menggunakan dana belanja tak tersangka
yang dianggarkan dalam APBD 2006. Ini agar dampak banjir yang mulai
dirasakan
warga setempat bisa segera teratasi.
"Mengapa Pemprov tak gunakan belanja tak tersangka saja? Padahal, dalam
APBD sudah dianggarkan sebesar Rp3 miliar untuk bencana alam, termasuk
banjir tahunan yang melanda Batola," tukas Ketua Komisi IV DPRD Kalsel,
H Nurdin HB, kepada wartawan koran ini, kemarin.
Menurut Nurdin, untuk menanggulangi banjir tahunan yang melanda
Kecamatan Kuripan memang diperlukan sebuah kajian mendalam, terutama
mengatasi luapan air Sungai Barito. Namun, untuk langkah awal, Nurdin
meminta agar badan jalan yang terus digenangi air bisa ditinggikan
mencapai 1 meter lebih tinggi dari halaman rumah penduduk. "Kami
melihat, justru badan jalan yang dibangun itu hanya setengah meter,
sehingga teredam air. Padahal, aspal hotmik yang sudah digunakan untuk
badan jalan di sana," tuturnya.
Meski begitu, Nurdin tak lantas setuju dengan usulan Wagub Kalsel HM
Rosehan NB yang ingin mendatangkan tim peneliti atasi banjir tahunan di
Batola. Dia memprediksi, butuh dana besar untuk mengatasi gejala alam
tahunan tersebut.
Sebab, Nurdin memprediksi banjir tahunan yang melanda Batola akan
berlangsung satu bulan lebih. Ini karena, beber dia, Batola merupakan
daerah bawahan, sementara banjir yang melanda daerah atasan seperti
Kabupaten Tabalong dan Balangan hanya berlangsung sepekan, begitu pula
banjir yang melanda daerah lain berjalan sekitar 2 pekan. "Banjir yang
melanda daerah atasan itu karena luapan air Sungai Tabalong dan
Balangan. Namun, air itu akan mengalir ke daerah bawahan menuju Sungai
Barito," terangnya.
Makanya, Nurdin melihat dengan digarapnya pengerukan alur Sungai Barito,
dipastikan akan bisa menampung berapa juta kubik air yang tak tertampung
di anak Sungai Barito. "Dengan kedalaman pengerukan air tersebut,
berarti akan membantu ketinggian air yang berada di hulu sungai.
Seharusnya, masalah sungai ini yang jadi perhatian, sebelum melakukan
penelitian lebih mendalam," katanya.
Menurut Nurdin, kondisi sungai yang ada di Kalsel, termasuk Banjarmasin,
sudah sangat mengkhawatirkan. Dengan kondisi sungai yang tak bisa lagi
menampung air, maka banjir tahunan akan selalu melanda. "Apakah nantinya
dengan dana ABT (Anggaran Biaya Tambahan) APBD 2006 bisa digunakan untuk
penelitian banjir. Padahal, masalah banjir itu adalah komprehensif,
bukan hanya di hilir namun juga di hulu sungai," bebernya.
Namun, Nurdin tetap berharap Pemprov Kalsel segera mengatasi masalah
banjir tersebut dengan cepat, terutama memenuhi permintaan masyarakat
yang dilanda banjir, seperti kebutuhan air bersih. Bagi Nurdin, dengan
kondisi banjir, warga akan kembali melakoni tradisi minum air sungai,
sehingga sangat rawan dengan penyakit. "Untuk langkah pertama,
pemerintah harus menyedikan air bersih bisa melalui tandon atau
menyiapkan penyaringan air bersih yang bisa digunakan warga. Apalagi,
banjir yang melanda tersebut merupakan banjir tahunan," imbuhnya. (dig)