Friday, July 28, 2006

BUMI SAIJAAN BERLINANG AIR MATA

Bpost; Minggu, 16 Juli 2006 02:27

"Besok Kami Harus Makan Apa?"
Tenda kuning itu hanya berukuran empat kali enam meter namun penghuninya berjubel. Belasan jiwa dari empat keluarga berbeda rela berdesak-desakan. Mereka pun masih harus menyisihkan tempat untuk sofa, peralatan memasak dan alat-alat rumah tangga lainnya.

Derita ini mau tidak mau harus mereka terima dan rasakan. Keluhan, ratapan apalagi gerundelan tidak ada artinya. Tidak akan bisa mengembalikan harta milik mereka yang habis dilalap si jago merah.

Kucuran keringat terlihat di wajah-wajah mereka yang menghitam dipanggang matahari. Terlebih para perempuan dan balita. Mereka terpaksa berulang kali mencari angin dengan cara menggerak-gerakkan kertas bekas. Mengusir sesaat gerah yang menyiksa.

Tak jauh dari tenda itu, terlihat puing-puing kayu dan papan, bertumpukan tak tertata. Semua menghitam, menjadi arang yang masih mengepulkan asap. Titik-titik api terkadang masih terlihat ketika angin berhembus.

"Kami sudah dua kali mengalami musibah ini. Dulu, saya masih ingat, 27 Juni 1993, rumah kami juga terbakar. Kemarin terulang lagi. Tetapi mau gimana lagi?" keluh Sjachrani, salah satu kepala keluarga yang mengungsi di tenda itu. Tiga kepala keluarga lainnya adalah Ardiansyah, Abdurahman dan Bachtiar. Mereka semua bermatapencaharian sebagai nelayan dan pembuat perahu.

Derita memang kembali dirasakan Sjachrani dan keluarga-keluarga warga Desa Rampa Lama dan Desa Sirgahayu, Kotabaru.

Dalam kebakaran hebat selama delapan jam itu 2.195 rumah sekejap menjadi arang. Sebanyak 7.844 jiwa pun kehilangan tempat tinggal. Dan dua desa yang padat penghuni itu kini berubah menjadi lapangan puing hitam.

Keterbatasan dan ketiadaan kini menjadi teman mereka. "Kemarin malam kami makan diberi Guru Udin, tokoh masyarakat di sini. Tadi pagi kami makan nasi bungkus pembagian Ikatan Nelayan Saijaan Kotabaru. Besok kami belum tahu makan apa," keluh Sjachrani kepada BPost, Sabtu (15/7).

Hingga hari kedua pascakebakaran, ia mengaku belum mendapat jatah makanan bantuan yang dijanjikan Pemkab Kotabaru. Untuk bertahan hidup, Sjachrani dan para korban lainnya hanya menerima belas kasihan keluarga dekat yang memberikan bantuan makanan alakadarnya.

Bahan makanan memang menjadi ‘benda mewah’ bagi mereka. "Cari mi saja susah. Kami ini belum makan," celetuk seorang perempuan. Wajar saja perempuan ini mengeluh. Duit tidak punya, tetapi untuk mendapatkan jatah makanan, harus antre bahkan berdesak-desakan mendaftarkan ke posko terdekat.

Memang derita tak ada yang bisa meramalkan datangnya. Kini para korban hanya bisa berharap pada bantuan. Bupati Kotabaru, Sjachrani Mataja pun menyikapinya. "Warga yang menjadi korban kebakaran diharapkan bersabar dan tabah, karena ini adalah ujian kepada kita semua. Kita ambil hikmahnya. Ke depannya, kita akan lakukan pembenahan lingkungan pemukiman sekitar, seperti pelebaran jalan titian agar tidak terlalu sempit," katanya saat meninjau ke lokasi kebakaran, Sabtu pagi. dhonny harjo saputro

No comments: