Radar Banjarmasin; Minggu, 16 Juli 2006
BANJARMASIN - Bencana banjir yang telah menyerang empat kabupaten di Kalsel, coba dianalisis penyebabnya. Analisis ini diharapkan bisa menjadi bahan dasar bagi kebijakan para pengambil kebijakan di Kalsel.
Aktivitas pertambangan liar dan penggundulan hutan di daerah penyangga, Pegunungan Meratus, diyakini menjadi penyebab utama musibah banjir belakangan ini.
Hal ini terungkap dalam diskusi publik gagasan Walhi Kalsel bersama sejumlah LSM dan UKM perguruan tinggi di Kalsel. Diskusi bertajuk "Menggugat Kebijakan Pemerintah Daerah di Kalsel dalam Penanggulangan Bencana Akibat Kerusakan Lingkungan" ini menghadirkan empat narasumber di Hotel Graha Fortuna, Kamis lalu. Yakni Kepala Bapedalda Kalsel Rahmadi Kurdi, Direktur Eksekutif Walhi Kalsel Berry Nahdian Furqon, akademisi dari FISIP Unlam Mukhtar Sarman, dan Koordinator Posko Peduli Bencana Kalsel Ina Fathiyah, termasuk masyarakat korba banjir dari Sungai Balai, Mali-Mali.Sayangnya, Gubernur Kalsel Rudy Ariffin selaku Ketua Satkorlak Provinsi Kalsel tidak hadir dalam pertemuan tersebut.
Menurut Berry, musibah banjir yang melanda Kalsel bukan sekadar bencana alam, karena disebabkan adanya eksploitasi sumber daya alam (SDA), dampak kumulatif dari kebijakan tak berperspektif serta kebijakan pengelolaan bencana (disaster management).
Dia mencontohkan, di bumi Kalsel saja tercatat 236 izin kuasa pertambangan (KP) yang diterbitkan 6 bupati, 29 izin PKP2B dari pemerintah pusat. Ironisnya, beber Berry, mengutip data yang diolah dari berbagai sumber tersebut, terungkap bahwa sebanyak 369 KP dan PKP2B justru tumpang tindih (overlap) dengan kawasan hutan dan perairan, 3 izin HPH aktif, 4 izin IPK aktif, 6 izin HTI aktif, serta 46 izin perkebunan besar. "Satu sisi, laju kerusakan hutan di Kalsel sangat cepat, sekitar 57.193 hektare per tahun atau 3,18 persen per tahun. Sementara, target dari gerakan rehabilitasi (Gerhan) hanya berkisar 15 ribu hektare. Ini jelas tidak seimbang, apalagi proyek Gerhan sendiri banyak digugat, karena tidak berhasil atau gagal," bebernya.
Berry menambahkan, dari penelitian Walhi Kalsel di lapangan, justru kawasan yang terendam banjir seperti di Kabupaten Banjar, Tanah Bumbu dan Kotabaru, ternyata disebabkan kerusakan lingkungan akibat pertambangan dan pembalakan liar. "Ini fakta yang terjadi," ujar Berry.
Karena itu, dia mendesak agar kebijakan moratorium SDA, audit lingkungan baik perusahaan tambang, hutan dan perkebunan, serta evaluasi tata ruang dan berpijak perseptif, patut diusung pemerintah daerah. "Termasuk, pengembangan sistem disaster management yang lebih aplikatif, terkoordinasi dan menjaga daerah terisolir," cetusnya.
Temuan Walhi Kalsel ini diakuri Kepala Bapeldalda Kalsel, Rahmadi Kurdi. Dia mengakui banyak kerusakan lingkungan yang terjadi di Kalsel, sangat berdampak terhadap lingkungan, sehingga mengakibatkan bencana banjir. "Satu sisi yang menyedihkan justru anggaran untuk pengelolaan dampak lingkungan sangat minim. Ya, kebijakan kita memang tak mementingkan masalah lingkungan," akunya.
Sementara itu, dua narasumber lainnya yakni Ina Fathiyah dan Mukhtar Sarman, lebih mengungkapkan sisi fakta di lapangan, serta konsep ke depan untuk penanggulangan bencana. Menariknya, dalam sesi dialog, suasana kian panas, sebab para peserta yakin bencana banjir akan kembali melanda Kalsel, jika tak segera diatasi segera. Terutama, menyangkut pengelolaan lingkungan yang tak berkiblat terhadap penanganan bencana. (dig)
Friday, July 28, 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment