Saturday, July 29, 2006

Yang Tersisa Dari Bencana

Bpost; Sabtu, 29 Juli 2006 03:02


Oleh:
Yurdi Yasmi
Mahasiswa Universitas
Wageningen, Belanda

Manusia selalu dihadapkan pada kenyataan bahwa mereka harus melawan kehendak alam (struggle against the nature). Dengan bekal ilmu pengetahuan yang terus berkembang, manusia seakan hendak mencoba menaklukan dan menjinakkan kehendak alam tersebut. Misalnya saja Jepang yang ditakdirkan untuk selalu ditimpa badai topan dan gempa, berusaha mengembangkan desain rumah sedemikian rupa sehingga guncangan dan serbuan topan bisa diatasi. Jepang sangat terkenal dengan kemampuannya beradaptasi terhadap kondisi semacam ini.

Demikan juga Belanda yang sepertiga daratannya terletak di bawah permukaan laut, terus berupaya mengembangkan teknologi untuk meredam hantaman ombak ganas laut utara (The North Sea). Belanda membendung garis pantai mereka dengan teknologi canggih. Andai saja dam yang mereka bangun itu roboh dalam waktu bersamaan, dipastikan kota utama negeri Kincir Angin itu seperti Amsterdam, Rotterdam dan Den Haag terendam air seketika. Namun dalam sejarahnya baru sekali saja di akhir 1960-an terjadi kebobolan salah satu dam yang menelan banyak korban jiwa dan harta benda. Insinyur Belanda memang termasyhur dengan kepiawaian mereka meredam gejolak air.

Boleh jadi Jepang dan Belanda adalah negara yang berhasil dalam menjinakkan kehendak alam, karena mereka punya teknologi dan pengetahuan luas. Mereka mengembangkan penelitian (research) jangka panjang untuk bisa memahami pola bencana. Tidak tanggung-tanggung, universitas terkemuka di negara itu berinvestasi cukup banyak untuk penelitian. Walhasil, mereka bisa mengantisipasi gejolak alam dan lebih siap beradaptasi dengan terjangan amarah bencana.

Namun kadangkala kehendak alam sulit diprediksi. Pola umum bencana memang bisa dipelajari, tapi dengan segala keterbatasannya manusia tidak bisa memprediksi gejolak alam yang tidak mengikuti pola umum. Maka, di Jepang pun manusia dibuat kalang kabut ketika hantaman badai topan melebihi kemampuan teknologi manusia. Rumah runtuh berpuing-puing, korban jiwa berjatuhan. Demikian pula di negeri Adidaya Amerika Serikat, badai Kathrina membuat mereka harus mengakui bahwa alam masih jauh lebih kuat dari manusia.

Pernyataan jujur yang sering dibuat ilmuwan terkemuka adalah: manusia bisa mempelajari sebab musabab dan pola bencana tapi manusia belum bisa menggagalkan bencana itu. Tidak seorang pun mampu menggagalkan gempa bumi dan badai topan. Yang bisa dilakukan manusia hanyalah menyiapkan diri dalam menghadapinya. Barangkali kenyataan ini menyadarkan kita, bahwa manusia memang makhluk kecil dengan semua keterbatasannya.

Tentunya masih segar dalam ingatan kita, betapa manusia tidak bisa mengelak dari bencana besar. Tsunami yang menghantam Indonesia, Thailand, Sri Lanka, Bangladesh, India di penghujung 2004 membuktikan, alam mempunyai kekuatan maha dahsyat. Dalam sekejap ratusan ribu nyawa melayang, mayat bergelimpangan dan membusuk di sana sini. Untuk memakamkan mayat itu saja, diperlukan waktu tak kurang dari enam bulan lamanya. Pemandangan seram dan mencekam itu mengharuskan manusia mengakui, alam mustahil ditaklukkan (nature cannot be defeated).

Kalau kita melihat agak jauh ke belakang, letusan Gunung Krakatau di penghujung abad 19 juga merupakan salah satu peristiwa bencana terbesar yang pernah tercatat dalam sejarah peradaban. Bahkan abu letusannya terbang sampai ke Eropa dan Amerika. Sebuah letusan yang maha dahsyat dan mengerikan, menghasilkan gelombang laut yang luar biasa.

Karena begitu banyaknya prilaku alam yang memporakporandakan kehidupan sosial, tidak mengherankan kalau studi becana alam (disaster studies) berkembang pesat di Eropa, Jepang dan Amerika. Sementara di Indonesia ilmu ini belum begitu diminati. Pakar disaster studies mengatakan, dari semua bencana yang terjadi dan akan terus terjadi sebagian besar sumberdaya fisik (physical resources) akan hancur. Maksudnya bangunan, jembatan, rumah, sekolah, jalan raya dsb akan habis berserakan dihantam tenaga maha dahsyat. Apalagi kalau bencana itu seperti tsunami yang kita saksikan tempo hari. Semuanya pasti akan lenyap dan tidak akan ada yang bisa membendungnya, teknologi canggih sekalipun akan bertekuk lutut.

Lebih jauh pakar disaster studies menyimpulkan, yang tersisa dari semua bencana hanya sumberdaya keilmuaan (knowledge). Pengetahuan yang melekat dan diwariskan akan tetap abadi walaupun bencana menghancurkan semua fasilitas fisik, karena tersimpan di berbagai media. Ia bisa ditemukan di buku, pada seorang pakar dan disebar di berbagai tempat sehingga ilmu pengetahuan dipastikan lolos dari bencana. Walaupun banyak bangunan universitas di Jepang dan Amerkia hancur karena badai topan, tapi pengetahuan untuk merehabilitasi kehancuran pascabencana tetap bisa dipertahankan. Hal ini dimungkinkan, karena pengetahuan tersebut dilestarikan secara baik dan tersimpan di berbagai tempat.

Agaknya Indonesia perlu menyadari hal ini, apalagi di tengah bencana yang datang silih berganti beberapa tahun terakhir. Sejarah mencatat, manusia tidak bisa mengalahkan kehendak alam. Hanya satu harapan terakhir kita, ilmu pengetahuan akan tetap dilestarikan dan lolos dari bencana. Oleh sebab itu, Indonesia harus mampu mengembangkan ilmu pengetahuan sehingga apa pun bencana yang dialami kita tidak kehilangan semuanya.

Tentu saja yang terpenting adalah pengetahuan tentang rehabilitasi pascabencana. Namun tidak kalah pentingnya adalah mengembangkan penelitian (research) tentang pola bencana. Dengan demikian, paling tidak kita bisa mengantisipasi bencana yang reguler dan mampu bangkit kembali. Investasi di bidang research perlu ditingkatkan, karena hal ini adalah investasi jangka panjang yang tidak pernah merugikan. Universitas terkemuka di Indonesia merupakan ujung tombak dalam membangun semangat research di tanah air. Kita semua menantikan kiprah nyata mereka dalam membangun knowledge melalui research yang terpadu dan berkelanjutan.

e-mail: Yurdi.Yasmi@wur.nl

No comments: