Sabtu, 29-12-2007 | 04:02:43
Tahun 2007 menjadi masa tersulit bagi para nelayan di Tanah Laut (Tala), termasuk nelayan di Desa Muara Asam Asam, Kecamatan Jorong. Sebagian besar nelayan kini terlilit utang akibat sulitnya mencari penghasilan, menyusul buruknya cuaca di lautan.
Kami di sini sudah lebih dua minggu tidak bisa melaut. Ombak di lautan sangat besar, angin kencang. Jika nekat, kapal bisa terbalik dan pecah," tutur Tahang (39), salah seorang warga.
Untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, Tahang dan keluarganya memilih utang. "Ya terpaksa utang di warung. Bagaimana lagi, saya sudah tak punya apa-apa lagi. Kami kalau tidak bisa melaut, berarti tak punya uang," ucap bapak tiga anak ini.
Bahkan nasib para nelayan, bak sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Di saat penghasilan keluarga sangat seret, mereka juga terkoyak bencana ombak besar. Dalam kejadian terakhir, 25 Desember lalu, sedikitnya rumah yang dihuni 29 kepala keluarga hanyut. Perabot rumah pun tak tersisa karena ditelan gelombang yang ganas itu.
Menurut penuturan sejumlah nelayan, sebenarnya saat ini ikan di laut cukup banyak, terutama jenis peda. Harganya pun lumayan tinggi. Namun potensi itu tidak bisa diraih nelayan, karena cuaca menghalangi aktivitas mereka.
Akibatnya, beban utang kian lama kian menumpuk. Untuk menanggung tiga anak, satu di antaranya masih bayi, dirasakan Tahang, rata-rata pengeluaran dalam sehari tak cukup Rp 25 ribu.
Pasalnya, karena berkurangnya lalu lintas kapal pengangkut, harga sembako dan bahan bakar minyak kian mahal. Ia mengilustrasikan, harga solar di kampungnya mencapai Rp 7.000 per liter, dan minyak tanah Rp 4.600.
Nasib Tahang pun masih lebih beruntung daripada korban terpaan ombak besar, tiga hari lalu. Nini (nenek) Madenna (70) misalnya. Kala menatap lautan luas, matanya terlihat hampa. Namun wanita tua ini masih berusaha tersenyum ketika BPost menemuinya, Jumat (28/12). "Saya tak punya rumah lagi, rumah saya hanyut dihantam ombak," ucapnya pelan.
Rumah Madenna yang berukuran 4x6 meter memang telah lapuk. Ombak besar yang menerjang Selasa petang lalu langsung menelan bangunan tua itu tanpa bekas. Apalagi rumah wanita tua terletak agak di bawah dibandingkan rumah warga lainnya.
Madenna menuturkan ketika ombak terus membesar, ia memilih mengungsi ke rumah familinya. Karena itulah, saat ombak yang tingginya mencapai tiga meter datang sekitar pukul 18-22.00 Wita dirinya tidak mengetahuinya. Namun saat dirinya kembali datang, rumahnya sudah porak poranda.
Ombak kini memang telah mereda. Namun Madenna terpaksa harus tetap berada di rumah familinya, bahkan mungkin untuk seterusnya. Madenna hidup tanpa anak dan suami. Hidupnya kini tergantung dari belas kasihan orang.
Darurat
Pascamusibah, warga Desa Muara Asam-Asam yang menjadi korban kini telah kembali ke rumah masing-masing. Namun mereka masih waswas karena diperkirakan pada Januari mendatang ombak besar kembali akan menerjang permukiman mereka.
Pantauan di lokasi, Jumat, beberapa warga di RT 2 sibuk memperbaiki rumahnya. Ada yang memasang papan lantai yang bolong, ada juga yang menyambung tongkat rumah yang menggantung karena tergerus abrasi.
Abrasi memang terus menerus menggerus pesisir pantai Muara Asam-Asam yang dihuni puluhan warga RT 2. Rumah warga di lingkungan ini paling rawan karena persis menempel di bibir pantai dan belum ditopang bronjong (pemecah gelombang). Bronjong yang ada saat ini sepanjang 600 meter dan baru dua-tiga bulan lalu selesai dibangun.
Sekretaris Desa Muara Asam Asam, Amliansyah, menuturkan abrasi berlangsung sepanjang tahun. Setidaknya abrasi telah menggerus daratan sejauh lima meter hingga menyentuh permukiman warga. Mereka pun hanya berharap pemerintah setempat tanggap. Namun jika tak ada kepedulian, satu-satunya harapan adalah alam tidak lagi murka. roy
No comments:
Post a Comment