Sabtu, 12 Mei 2007 00:38
Hal ini diperparah lagi oleh terlalu banyak kebijakan yang lahir tanpa melalui pertimbangan kemanusiaan.
Oleh:
M Nur Iman Ridwan SSos MSi
Staf Pengajar Prodi Administrasi Negara Fisip Unlam
Banjir di banua kita sangat sering terjadi. Bahkan dalam 2007 ini saja, beberapa kabupaten/kota mengalami sedikitnya dua sampai tiga kali kebanjiran. Seperti yang dialami Kabupaten HST, HSS dan Tanah Bumbu, pekan lalu. Walaupun diberitakan bahwa banjir yang terjadi di wilayah tersebut telah surut, bukan berarti kewaspadaan dan perhatian dari semua pihak harus menurun. Kenapa? Banjir masih mengintai dan mengancam banua kita, karena beberapa daerah masih berpotensi banjir seperti HSU dan HSS yang saat ini Sungai Negara, Tabalong dan Balangan di Kabupaten HSU meluap. Apalagi status DAS Balangan dalam kondisi kritis.
Persoalan banjir memang tidak mengenal batas administratif suatu daerah. Bahkan diduga, salah satu penyebab banjir yang terjadi di daerah hilir seperti HSU dan HSS merupakan dampak dari rusaknya hutan di Kabupaten Tabalong dan Balangan. Sayangnya, dalam pengelolaan banjir masih bekerja sendiri-sendiri sehingga tidak efektif. Juga tidak ada tindakan nyata dari pemerintah provinsi untuk memfasilitasinya, khususnya penanggulangan banjir dalam jangka panjang. Ironisnya lagi, dana untuk penanggulangan bencana terkadang dianggarkan pada APBD dalam porsi kecil sehingga cepat habis dan upaya recovery (pemulihan) hampir tidak pernah dilaksanakan. Bahkan ada kesan ‘biar masyarakat yang memikirkan’.
Di sisi lain, banjir bukan hanya menyebabkan sawah tergenang sehingga tidak dapat dipanen dan meluluhlantakkan perumahan dan permukiman. Tetapi juga merusak fasilitas pelayanan sosial ekonomi masyarakat dan prasarana publik, bahkan menelan korban jiwa. Kerugian semakin besar jika kegiatan ekonomi dan pemerintahan terganggu, bahkan terhenti. Meskipun partisipasi masyarakat dalam penanggulangan banjir sangat nyata, terutama aktivitas tanggap darurat. Namun, banjir menyebabkan tambahan beban keuangan negara terutama untuk merehabilitasi dan memulihkan fungsi parasana publik yang rusak.
Hal ini diperparah lagi oleh terlalu banyak kebijakan yang lahir tanpa melalui pertimbangan kemanusiaan. Melainkan hanya demi peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan ego kedaerahan, sehingga buah dari kebijakan ini yang sering membawa musibah ‘beruntun’ bagi publik.
Agenda ke depan
Agenda ke depan selain perlu merancang solusi jangka pendek terhadap korban banjir, seperti bantuan tanggap darurat (pangan dan sandang), tidak kalah penting adalah upaya strategis yang bersifat jangka panjang. Tanpa ada penanganan yang bersifat mendasar, maka kerugian publik dan keuangan negara akan semakin membesar setiap tahun. Untuk itu, penanggulangan banjir ke depan harus diawali dari komitmen pembuat kebijakan di daerah ini untuk bertekad agar dampak banjir dapat diminimalisasi. Syukur-syukur dapat menjadikan banua ini sebagai daerah bebas banjir.
Ajakan Bupati HSS agar semua pihak dapat duduk bersama membicarakan persoalan bencana ini (BPost, 9 Mei 2007), harus direspon oleh semua kepala daerah khususnya bupati Tabalong, Balangan, HST dan HSU yang daerahnya berada di hulu dan hilir. Hal ini sangat penting dalam kerangka keterpaduan pembangunan/kebijakan dalam penanggulangan bencana antara hulu dan hilir. Termasuk penting untuk membicarakan persoalan One River, One Plan, One Integrated Management (pengelolaan dan pengembangan DAS terpadu), menginventarisasi peraturan daerah ataupun kebijakan yang dianggap berpotensi menimbulkan bencana alam (biasanya terkait erat dengan masalah pengelolaan SDA, IMB dan Amdal).
Jangan sampai Kalsel yang sekarang tersenyum, pada masa mendatang menangis. Jangan sampai Kalsel yang sekarang kaya hasil tambang (walaupun lebih banyak dinikmati pemerintah pusat) dan bumi menjadi daerah miskin, akibat eksplorasi SDA yang berlebihan sehingga menyebabkan rawan bencana berkepanjangan. Lakukanlah sebelum semuanya terlambat dan menimbulkan dampak yang lebih mengerikan.
No comments:
Post a Comment