Kamis, 15 Februari 2007
Radar Banjarmasin
JAKARTA,- Pemerintah masih gagap menghadapi bencana alam. Indikatornya bisa dilihat dari penanganan bencana yang masih bersifat responsif, bukannya preventif. Sampai saat ini pemerintah belum punya skrenario penanganan seandainya bencana alam yang bentuknya bermacam-macam itu terjadi.
”Bagaimana melibatkan masyarakat ikut serta dalam penanganan bencana juga kurang diperhatikan,” ungkap Pelaksana Tugas Deputi Pencegahan dan Kesiapsiagaan Bakornas Penanggulangan Bencana (PB) Sugeng Tri Utomo ketika menjadi pembicara dalam diskusi bertajuk Sebelum Bencana Datang Lagi, Bagaimana Kesiapan Kita? yang diselenggarakan di Hotel Millenium kemarin.
Kondisi geografis Indonesia yang rawan dan rentan bencana alam membutuhkan sebuah badan penanggulangan bencana yang definitif, bukan sebuah badan yang diketuai oleh pejabat secara ex offocio. ”Sayangnya penanganan bencana di Indonesia masih terkendala masalah koordinasi,” tambah Sugeng.
Bicara soal koordinasi adalah soal informasi, bukannya masalah hirarki, kekuasaan komando, atau kelembagaan. Kalau ada bencana, semua orang ingin membantu tapi tidak tahu bantuan seperti apa yang sesuai dan kepada siapa bantuan tersebut ditujukan. ”Penguasa, apapun lembaganya dan benderanya, selalu mengatakan harus melalui ‘saya’. Informasi jelas soal kondisi lapangan itulah esensi koordinasi,” ungkap Ketua Pelaksana Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) Aceh, Kuntoro Mangkusubroto. Berdasarkan pengalaman, seringkali bantuan menumpuk sementara korban menderita kelaparan atau barang yang diberikan ternyata tidak sesuai dengan kebutuhan korban.
Diungkapkannya ada empat hal yang harus dilakukan ketika bencana terjadi. Yang paling utama tentu saja tahapan penyelamatan (rescue) untuk menjaga agar masyarakat yang menjadi korban tetap selamat. ”Dalam tahapan ini, tidak usah banyak teori, yang penting bagaimana orang yang selamat tidak ikut mati,” ungkap pria berkacamata tersebut. Yang kedua adalah tahap pemenuhan logistik untuk menjaga kelangsungan hidup korban yang selamat. Bisa diakui untuk dua tahap tersebut, Indonesia sudah berhasil melakukannya.
Sayangnya dua tahap yang lain yakni pencatatan, baik jumlah korban maupun kerusakan, jarang dilakukan secara tuntas. Apalagi, melakukan rehabilitasi secara menyeluruh dan tuntas, selalu saja terlewatkan dalam penanganan bencana yang berkali-kali terjadi di negara ini. ”Inilah siklus kebodohan manusia,” tambah Kuntoro yang saat itu memakai kemeja berwarna merah muda tersebut.
Yang paling penting dari bencana adalah manajemen kepanikan, bagaimana mengedalikan kepanikan dalam masyarakat. Menurut Kuntoro, tidak semua masyarakat siap menghadapi bencana dan punya pengetahuan soal bencana. Seperti penduduk Pulau Simeulue, Aceh misalnya. Pengetahuan turun-menurun (local wisdom) bahwa jika setelah gempa air laut surut, itu pertanda tsunami akan datang dipatuhi warga. Bukannya memungut ikan yang menggelepar saat air surut, warga beramai-ramai mengungsi ke tempat yang lebih tinggi. Itulah yang membuat mayoritas penduduk pulau tersebut selamat dari bencana. ”Indonesia daerah yang penuh dengan bencana, perlu edukasi soal itu pada masyarakat. Negara lah yang paling bertanggungjawab,” tambah Kuntoro.
Sebagai wakil dari pemerintah, Dirjen Bantuan dan Jaminan Departemen Sosial Purnomo Sidi pun angkat bicara. Menurutnya, penanganan soal bencana bukan hanya tanggung jawab pemerintah pusat. Pemerintah daerah baik Gubernur maupun Bupati/Walikota harus sadar bencana. Apalagi otonomi daerah membuat peran pemerintah pusat hanya sebagai penguatan.
Kenyataannya, tambahnya, pemerintah daerah masih sangat tergantung dengan pusat untuk urusan bencana. Tahun 2007 ini saja pemerintah pusat harus mendistribusikan peralatan penanggulangan bencana sampai level kabupaten. Tidak hanya itu, tiap tahun Depsos menyuplai 50 ton beras sebagai persedianan logistik saat bencana ”Ini sebenarnya sudah keterlaluan,” tambahnya.
Pria yang saat itu mewakili Mensos Bachtiar Chamsyah yang urung hadir karena mengikuti rapat kabinet mengungkapkan banyak hal harus diperbaiki untuk meminimalisasi dampak bencana seperti revitalisasi ruang terbuka hijau sebagai daerah resapan air dan masih banyak persoalan lainnya. ”Hrus ada antisipasi dini sehingga biaya tidak habis untuk menanggulangi bencana tapi bisa disalurkan untuk hal-hal positif lainnya,” tambahnya. (ein/fal)
No comments:
Post a Comment