Rabu, 24 Januari 2007
Begitu mendengar terjadi gempa di Kota Manado, Minggu (21/1) spontan seorang rekan bertanya, "Ada apa dengan negeri kita? Apakah Tuhan marah?"……. Pertanyaan itu terdengar klise-selalu terucap setiap kali bencana besar terjadi. Pertanyaan klise itu menjadi indikasi, setiap kali bencana besar terjadi, setiap kali pula kita terhempas pada keputusasaan. Setiap kali pula kita tidak siap, secara fisik dan mental.
Namun, tidak bisa lain, kita semua harus waspada dan (berusaha keras untuk) siap menghadapi bencana kebumian yang pada puncaknya bisa amat apokaliptik, misalnya tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Mengapa harus siap?
Wilayah Indonesia berada tepat di daerah pertemuan tiga lempeng bumi utama yaitu Lempeng Eurasia, Lempeng Indo-Australia, dan Lempeng Pasifik. Lempeng Indo-Australia bertumbukan dengan Lempeng Eurasia di Sumatera, Jawa, dan Bali dengan kecepatan geser 7 sentimeter per tahun.
Di wilayah timur Indonesia, Lempeng Pasifik berkecepatan 11 sentimeter per tahun bertumbukan dengan Lempeng Indo-Australia yang kecepatannya 7 sentimeter per tahun di daerah Irian Jaya. Daerah pertemuan dua lempeng itu biasanya ditandai dengan patahan, sesar, atau palung (di laut).
Setelah gempa besar diikuti tsunami 26 Desember 2004 di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dengan korban lebih dari 200.000 jiwa, semua lempeng seakan "tergugah" karena terjadi ketidakstabilan akibat gempa tersebut. Menurut Cecep Subarya, Kepala Bidang Geodinamika, Pusat Geodesi dan Geodinamika Bakosurtanal (Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional) sebenarnya hal itu sudah diduga sekitar dua tahun sebelumnya saat muncul gempa bertubi-tubi di wilayah Timur Indonesia.
Tahun 2002 terjadi gempa Ransiki di Teluk Cenderawasih berkekuatan 7 Skala Richter (SR), gempa Nabire 7 SR tahun 2004, disusul gempa Alor (7,5 SR) dan gempa Nabire (7,1 SR). Rupanya, rentetan itu berpuncak pada pelepasan energi yang luar biasa besar di NAD.
Kita umpamakan saja sebuah puzzle yang kepingnya saling bersinggungan. Lalu setiap kepingnya kita gerakkan dengan kecepatan dan arah yang berbeda. Maka setiap keping itu saling mendesak. Keping puzzle adalah perumpamaan sebuah lempeng. Keping yang terdesak akan patah atau terlepas dari tempatnya, dan tatanan puzzle itupun rusak. Itulah yang terjadi pada bumi kita saat gempa terjadi. Puzzle di sebelahnya pun turut tergeser,
Sejak gempa dan tsunami di NAD, benar saja, gempa seakan tak henti mengguncang negeri ini. Mulai dari NAD dan secara perlahan merambat ke timur.
Dalam jangka dua tahun, 2005 dan 2006, menurut catatan Kompas terjadi 14 kali gempa di daerah barat Indonesia (Sumatera, Jawa) dan 11 kali di timur Indonesia (NTT, Sulawesi, Papua) yang berkekuatan di atas 5 SR.
Puncak gempa di antaranya yaitu gempa besar di Kabupaten Bantul, Yogyakarta dan sekitarnya pada 27 Mei 2006 serta gempa dan tsunami di Pangandaran.
Dari pengalaman itu, saran pakar ilmu kebumian agar segera dilakukan tindakan antisipasi pantas segera ditindaklanjuti.
Usul ini bukan berdiri sendiri. Paskatsunami NAD pemerintah tanpa membuang waktu, merencanakan pembangunan sistem peringatan dini tsunami (Tsunami Early Warning System). Ditargetkan selesai tahun 2008.
Pemetaan daerah rawan
Para pakar mendesak pemerintah agar segera membuat pemetaan daerah rawan bencana kebumian, sosialisasi tentang bencana kebumian kepada publik senyampang perangkat keras sistem peringatan dini tsunami dibangun secara nasional.
Jika dipetakan, maka di daerah Barat yang harus diwaspadai adalah daerah Kepulauan Mentawai. Di kawasan ini pada tahun 1833 terjadi gempa berkekuatan lebih dari 9 SR. Selama nyaris 200 tahun, di segmen tersebut tidak terjadi pelepasan energi (baca: gempa). Para pakar pantas khawatir; kapan dia akan melepaskan energinya, dan seberapa besar?
Di kawasan timur, Kepala Subdirektorat Mitigasi Bencana dan Pencemaran Lingkungan Departemen Kelautan dan Perikanan Dr Subandono Diposaptono menjelaskan, Laut Maluku adalah zona rawan tsunami nomor dua setelah Laut Banda. Sebanyak 30 persen tsunami di Indonesia terjadi di daerah ini.
Dari 32 tsunami yang terjadi antara tahun 1600-2007, 28 di antaranya disebabkan gempa tektonik dan sisanya karena letusan gunung api di bawah laut.
Aktivitas tektonik di kawasan Maluku dan Sulawesi utara memang kompleks dan rumit. Di sana terdapat subduksi ganda dengan pola yang rumit. Akibat subduksi (penunjaman) lempeng Pasifik terhadap lempeng Eurasia menimbulkan dua busur melengkung yang arahnya berbeda, yaitu busur Halmahera dan Busur Mayu-Sangihe.
Busur Mayu sejajar dengan Halmahera, menunjam ke arah timur. Sedang Busur Halmahera menunjam ke barat mengarah ke Filipina dan Perairan Maluku.
Dibandingkan periode kegempaan akibat subduksi di kawasan barat Sumatera,gempa di daerah ini periodenya lebih singkat. Sehingga akumulasi energi tidak sebesar di wilayah barat itu. Intensitas kegempaannya di bawah 8 SR.
(Brigitta Isworo L/Yuni Ikawati)
No comments:
Post a Comment