Radar Banjarmasin - Kamis, 2 November 2006
Oleh: Marinus Kristiadi Harun, S.Hut*
Mengidentifikasi dan memahami dengan baik akar permasalahan penyebab terjadinya kebakaran di wilayah Kalsel adalah sangat penting untuk dilakukan. Pemecahan (solusi) yang efektif bagi masalah kebakaran di Kalsel tidak dapat dirancang apabila tidak sesuai dengan akar permasalahan yang mendasarinya. Perlu diketahui bahwa penyebab kebakaran di Kalsel bervariasi dari lokasi ke lokasi, sehingga langkah-langkah strategis penanganannya memerlukan 'resep' yang bersifat lokal spesifik.
Kebakaran yang terjadi saat ini di Kalsel adalah merupakan kombinasi kebakaran hutan dan kebakaran lahan. Masyarakat awam seringkali berpendapat bahwa setiap kejadian kebakaran adalah merupakan kebakaran hutan meskipun kebakaran tersebut terjadi pada lahan milik di luar kawasan hutan. Kebakaran hutan menurut Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 195/kpts-II/1986 didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana hutan dilanda api sehingga mengakibatkan kerusakan hutan dan atau hasil hutan yang menimbulkan kerugian ekonomi dan lingkungan. Sedangkan kebakaran lahan didefinisikan sebagai kebakaran yang terjadi di luar hutan atau yang terjadi pada areal non hutan seperti padang alang-alang dan areal persawahan. Kedua tipe kebakaran tersebut memerlukan langkah-langkah penanganan yang berbeda.
Penyebab Langsung Kebakaran
Penyebab terjadinya kebakaran hutan dan lahan secara umum disebabkan oleh faktor alam dan faktor manusia (anthropogenic). Faktor alam umumnya berkaitan dengan iklim, kondisi lahan dan sumber bahan bakar. Kejadian alam yang dapat menyebabkan kebakaran hutan dan lahan di Kalsel antara lain terbakarnya bahan mineral dalam tanah (batubara) karena iklim yang ekstrem panas. Perubahan iklim yang sangat drastis terutama munculnya fenomena El Nino yang menyebabkan kemarau panjang dapat memperbesar tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan.
Bencana kebakaran hutan dan lahan di Kalsel lebih disebabkan oleh faktor manusia daripada alam. Perubahan lingkungan khususnya tutupan tanah (ground cover) berupa hutan menjadi bentuk tutupan tanah lainnya yang lebih rentan terhadap kebakaran seperti semak belukar dan padang ilalang merupakan perubahan yang dipicu oleh manusia yang menyebabkan lingkungan menjadi lebih retan terhadap kebakaran.
Penyebab langsung terjadinya kebakaran hutan dan lahan yang berasal dari aktivitas manusia secara umum dapat dikelompokkan menjadi empat faktor.
Pertama, api digunakan dalam pembersihan lahan. Penggunaan api untuk pembersihan lahan telah menjadi kebiasaan bagi petani (skala kecil) dan pengusaha perkebunan/kehutanan (skala besar). Penggunaan api untuk pembersihan lahan merupakan cara yang paling mudah, murah dan cepat (efisien), sehingga selama belum ditemukan metode baru yang lebih efisien untuk membuka lahan maka pembersihan lahan dengan cara membakar akan terus dilakukan.
Kedua, api digunakan sebagai senjata dalam permasalahan konflik tanah. Pembakaran hutan dan lahan secara sengaja oleh oknum tertentu dipandang sebagai cara yang efektif dalam penyelesaian masalah konflik penguasaan lahan.
Ketiga, api menyebar secara tidak sengaja. Api muncul akibat tindakan ceroboh seseorang, misalnya membuang puntung rokok yang masih menyala tidak pada tempatnya, lupa mematikan api saat memancing di malam hari dan pembakaran untuk pembersihan lahan yang tidak terkendali.
Keempat, api yang berkaitan dengan ekstraksi sumberdaya alam dan penyediaan pakan ternak. Api digunakan untuk mempermudah akses dalam ekstraksi sumberdaya alam seperti pengumpulan madu dan berburu. Penyediaan pakan ternak bagi sebagian masyarakat yang mempunyai hewan ternak sering dilakukan dengan membakar alang-alang untuk merangsang pertumbuhan alang-alang yang muda.
Akar Permasalahan Kebakaran
Akar permasalahan (penyebab tidak langsung) yang memicu terjadinya kebakaran hutan dan lahan dapat dijelaskan sebagai berikut.
Pertama, adanya konversi hutan. Sebagian besar wilayah Kalimantan pada umumnya dan Kalsel pada khususnya telah dikonversi dari hutan hujan tropis basah menjadi bentuk tutupan lahan (ground cover) lainnya yang lebih kering (kelembaban rendah) seperti hutan hujan tropis bekas tebangan, hutan tanaman industri, perkebunan kelapa sawit, perkebunan karet, lokasi pertambangan dan lokasi transmigrasi. Konversi tersebut menyebabkan tingkat kerawanan kebakaran meningkat.
Kedua, lemahnya tataguna tanah. Kepastian tentang tataguna tanah yang tepat sulit untuk diwujudkan. Kebijakan alokasi penggunaan lahan yang tidak tepat, tidak adil dan tidak terkoordinasi menyebabkan tingkat kerawanan kebakaran meningkat.
Ketiga, penguasaan lahan. Hal ini timbul karena adanya tumpang tindih klaim lahan atau konflik penguasaan lahan antara masyarakat lokal, pendatang, pengusaha maupun pemerintah. Lemahnya sistem hukum yang mengatur masalah klaim lahan oleh masyarakat lokal dan hak-hak tradisional atas lahan, sering dipakai sebagai alasan menggunakan api untuk membalas rasa ketidakadilan yang mereka alami atau digunakan untuk memperoleh kembali hak-hak mereka atas lahan.
Keempat, penurunan modal social (social capital). Sikap masyarakat yang cenderung untuk bersikap masa bodoh, kebutuhan subsisten yang tidak terpenuhi dan ketika ketidakadilan meningkat maka tingkat kerawanan kebakaran akan meningkat.
Kelima, belum mantapnya rencana pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Rencana pengendalian kebakaran hutan dan lahan adalah merupakan suatu rencana yang berisi tentang semua kegiatan untuk melindungi nilai-nilai vegetasi dari kebakaran dan penggunaan api untuk mencapai tujuan dan sasaran pengelolaan lahan (Hadi, 2002).
Keenam, kondisi hutan dan lahan yang terdegradasi. Beberapa faktor yang mempengaruhi degradasi hutan dan lahan seperti illegal logging, sistem drainase berlebih (over drainage) pada lahan rawa gambut sering menyebabkan tingkat kerawanan kebakaran meningkat.
Solusi
Berdasarkan akar permasalahan (penyebab tidak langsung) yang memicu terjadinya kebakaran hutan dan lahan di Kalsel maka dapat diusulkan solusinya sebagai berikut.
Pertama, kepastian tentang tataguna tanah yang tepat sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) yang disusun secara partisipatif sangat perlu untuk dilakukan. Konversi hutan alam menjadi bentuk tutupan lahan yang lain perlu dihindari.
Kedua, melaksanakan program pemberdayaan masyarakat lokal. Hal ini perlu dilakukan sehingga masyarakat lokal dapat berfungsi secara sosial, ekonomi dan politik. Hal ini memerlukan adanya: (a) akses dan produksi informasi tentang teknik, manajemen dan kelembagaan rencana pengendalian kebakaran hutan dan lahan bagi masyarakat lokal; (b) pengakuan atas pengetahuan dan ketrampilan yang dihasilkan dan dikembangkan masyarakat lokal; (c) koordinasi antar sektor pembangunan yang menyentuh masyarakat lokal; (d) pelaksanaan dialog yang setara antar para pihak (aparat pemerintah, pihak swasta dan masyarakat lokal); (e) kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang kondusif; (f) kesadaran para pihak yang berdialog untuk menggunakan kerangka pandang yang bebas prasangka; (g) fleksibilitas dalam rencana pengendalian kebakaran hutan dan lahan yang mencakup teknis pelaksanaan, penganggaran dan skala kegiatan, sehingga dapat mengakomodasi dan mendukung inovasi program yang mucul sebagai hasil dialog.
Keempat, upaya pengendalian kebakaran di Kalsel akan lebih baik diarahkan untuk pencegahan daripada usaha pemadaman kebakaran. Lebih khusus lagi, usaha ini diarahkan untuk kegiatan pengelolaan bahan bakar. Pencegahan meliputi pekerjaan yang bertujuan agar api liar tidak terjadi. Pencegahan meliputi: pembuatan peraturan perundangan, penyuluhan dan pengurangan bahan bakar. Pengelolaan bahan bakar adalah kegiatan untuk memanipulasi bahan bakar yang terdiri atas 3 kegiatan, yakni: menghilangkan bahan bakar, mengurangi bahan bakar dan memotong atau meblokkir bahan bakar. Ketiga kegiatan ini wajib dilakukan oleh para pemilik lahan.
Kelima, rencana pengendalian kebakaran hutan dan lahan pada tingkat provinsi, tingkat kabupaten/kota sampai pada unit pengelolaan lahan perlu segera dibuat dan dilaksanakan. Rencana pengendalian kebakaran hutan dan lahan merupakan rencana operasional yang berisikan tentang (Hadi, 2002): (a) kebijakan dan tujuan pencegahan/pengendalian kebakaran hutan dan lahan, (b) areal yang akan dilindungi yang menjelaskan tentang luas dan cakupan areal kerja, tipe-tipe penggunaan lahan pada areal kerja dan prioritas areal yang dilindungi apabila terjadi kebakaran. Hal ini penting dilakukan mengingat keterbatasan dana dan tenaga, (c) tipe dan muatan bahan bakar. Informasi ini berguna untuk memprediksi tingkat bahaya kebakaran, intensitas api, kecepatan penjalaran api dan untuk menentukan jumlah personil serta peralatan pemadaman yang akan digunakan, (d) organisasi dan personil regu pemadam yang menjelaskan tentang susunan organisasi, tanggungjawab, tugas serta prosedur kerja baik pada saat terjadi kebakaran maupun pada saat lain di luar musim kebakaran, (e) rencana pencegahan yang berisi tentang perundangan yang berlaku, kampanye pencegahan, pemasangan papan-papan peringatan, penyuluhan dan penerangan, (f) reduksi bahan bakar yang berisi metode pengurangan bahan bakar baik muatan maupun tinggi bahan bakar. Hal ini dilakukan agar bila terjadi kebakaran api tidak membesar dan dapat dikendalikan denga peralatan yang ada, (g) sistem pengukuran tingkat bahaya kebakaran, (h) rencana deteksi kebakaran yang berisi metode deteksi, sistem pelaporan, frekuensi deteksi, tata waktu dan sistem komunikasi, (i) rencana pemadaman yang berisi taktik, teknik pemadaman, susunan personil, peralatan dan mobilisasi, (j) sistem peringatan dan komunikasi, (k) personil bantuan yang berisi tentang personil bantuan bila diperlukan seperti BPK, masyarakat lokal, LSM, volunterr, (l) peralatan pemadaman yang berisi peralatan yang telah ada, pemeliharaan, operasional dan rencana pengadaan peralatan yang diperlukan, (m) logistik, (n) peta api dan (o) pelaporan.
Penutup
Kebakaran hutan dan lahan harus dipandang sebagai ancaman serius terhadap keberlanjutan pembangunan karena secara nyata telah menyebabkan kerugian ekonomi, ekologi, sosial, budaya dan politik. Oleh karena itu pencegahan kebakaran hutan dan lahan pada tahun-tahun yang akan datang harus ditetapkan sebagai salah satu kebijakan prioritas pemerintah Provinsi Kalsel dan pemerintah kota/kabupaten. Perlu ditekankan di sini bahwa “rasa memiliki sumberdaya hutan dan kepedulian kita terhadap kelestarian lingkungan” merupakan kata kunci suksesnya pencegahan kebakaran di Kalsel.***
*) Peneliti Pada Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Banjarbaru.
E-mail: marinuskh@yahoo.co.id
No comments:
Post a Comment