Sunday, November 19, 2006

Gambut Membara, Perjuangan Melawan Lupa

Senin, 13 November 2006
Pohon setinggi 20 meter itu masih menghijau kulit batang dan dedaunannya. Tanaman itu selamat dari jilatan api kebakaran yang batasnya berjarak sekitar lima meter. Tiba-tiba, pohon itu tumbang.

Akar-akarnya yang tercerabut membara. Itu yang pernah Kompas saksikan pertengahan tahun silam ketika 30 hektar kawasan di Taman Nasional Sebangau, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, terbakar.

Belum lama berselang, Kompas kembali menyaksikan fenomena unik. Tidak tampak api di permukaan tanah di daerah Tingang, Palangkaraya. Namun, asap putih membubung dari tanah tersebut. Padahal, lahan yang terbakar adalah semak belukar yang berjarak lebih dari 10 meter.

Dibantu seorang warga yang mengorek-ngorek lapisan tanah berasap tadi dengan tongkat kayu, terlihat sisa-sisa kayu yang membara. Ketika ditelusuri, bara ternyata merambat di dalam tanah dari semak yang terbakar. Diperkirakan bara merambat lewat perakaran, menjalar serta menghanguskan sisa-sisa bahan organik seperti batang kayu atau akar-akaran di bawah tanah. Lalu timbullah asap.

Merujuk buku Panduan Pengelolaan Lahan Gambut untuk Pertanian Berkelanjutan (Najiyati, dkk, 2005), mudah terbakar merupakan salah satu sifat gambut. Sifat ini, antara lain, dipengaruhi tingginya kandungan bahan organik dan sifat kering tak balik.

Sifat kering tak balik terjadi pada gambut yang mengalami kekeringan ekstrem sehingga sudah sulit menyerap air. Kekeringan ekstrem, antara lain, diakibatkan teratusnya air yang menurunkan kedalaman air tanah, semisal karena pembuatan kanal atau parit.

Ketika sudah terbakar, bara gambut sulit dipadamkan karena rambatannya ada di bawah permukaan. Untuk memadamkan bara gambut seluas dua meter persegi di kawasan Tumbang Nusa, misalnya, tim pemadam ada yang sampai membutuhkan waktu hampir satu jam.

"Kami memang harus menyemprot air dalam jumlah besar karena di bawah permukaan, gambut yang terbakar tadi mirip bola api. Kami harus tuntas menyemprotnya, istilahnya membuat bubur lumpur agar bara gambut benar-benar padam dan tidak merambat," kata Kepala Subdinas Perlindungan dan Pengamanan Hutan Provinsi Kalteng Andarias Lempang.

Siklus El Nino

Beberapa warga di Palangkaraya belakangan menduga-duga bahwa kabut asap tebal merupakan siklus lima tahunan, akibat pengaruh El Nino. Ini merujuk pada kejadian kabut asap tahun 1997, 2002, dan juga tahun 2006. Di sela-sela tahun itu, kabut asap berlangsung sebentar dan tidak terlalu pekat.

Kabut asap tahun 1997 sempat mengganggu aktivitas penerbangan di Palangkaraya hingga sekitar tiga bulan. "Tahun 2002, kabut asap mengganggu penerbangan selama satu bulan. Tahun 2006 ini, sudah lebih dari setengah bulan tidak ada penerbangan keluar masuk Palangkaraya," kata Kepala Bandara Tjilik Riwut, Jamaludin Hasibuan.

Ketika dikonfirmasi, Kepala Badan Meteorologi Palangkaraya Hidayat menuturkan, El Nino memengaruhi adanya kemarau panjang, kondisi yang rawan menimbulkan kebakaran lahan.

"Kemarau panjang membuat kondisi semak, belukar, atau vegetasi mengering dan mudah terbakar. Tapi kebakaran lahan atau hutan yang mengakibatkan kabut asap tidak akan terjadi kalau tidak ada yang membakarnya, meskipun kemarau panjang. Jadi di sini faktor manusia merupakan penentu utamanya," kata Hidayat.

Ditemui di lokasi pemadaman massal, Wali Kota Palangkaraya Tuah Pahoe menuturkan, Pemerintah Kota Palangkaraya akan menindak tegas pemilik lahan yang menelantarkan lahannya sehingga terbakar. Sanksinya mulai dari teguran hingga penyitaan tanah. "Tetapi, tentunya untuk penyitaan itu prosesnya panjang," ujar Tuah.

Itu dari sisi pemerintah. Cara pandang warga lain lagi. Andra, seorang warga Palangkaraya justru menduga bahwa pembakaran lahan sebenarnya dilandasi ketakutan warga.

"Warga takut kalau lahannya yang ditumbuhi semak belukar itu disita karena dikira ditelantarkan. Supaya tidak kelihatan telantar, maka belukar pun dibakar agar lahan tampak bersih," ujar Andra.

Padahal, menurut Tuah, sebenarnya masyarakat yang mau membakar lahan dengan luasan 0,1 hektar dapat meminta izin kepada kepala desa, asal jelas tujuannya dan membuat sekat bakar.

Problem kabut asap hingga kini masih belum ketahuan ujung pangkalnya. Sering kali penyelesaian atau pencegahan kabut asap ini akan menguap dan terlupakan seiring menghilangnya asap ketika hujan.

Padahal, asap ini akan muncul lagi saat kemarau setiap tahunnya. Meminjam frasa Milan Kundera, "sepertinya perjuangan melawan kabut asap sebenarnya juga perjuangan melawan lupa". Semoga untuk tahun depan kita tidak lupa. (CAS)

No comments: