Sunday, November 12, 2006

Bandara Palangkaraya Masih Lumpuh

Jumat, 27 Oktober 2006
Palangkaraya, Kompas - Hingga Kamis (26/10) sudah 18 hari Bandara Tjilik Riwut, Palangkaraya, Kalimantan Tengah, lumpuh karena kabut asap. Selama bandara tutup, negara telah kehilangan total pendapatan dari jasa bandara sekitar Rp 180 juta.

Tjilik Riwut belum bisa berfungsi karena jarak pandang belum stabil meski hujan deras turun dua hari pertama pekan ini. Jarak pandang berkisar 500 meter-600 meter. Itu sudah lebih baik dibanding sebelumnya yang pernah kurang dari 100 meter.

"Maskapai Sriwijaya Air, Batavia Air, dan penerbangan perintis masih harus melihat perkembangan cuaca dua tiga hari ini karena jarak pandang masih berubah-ubah," kata Kepala Bandara Tjilik Riwut Palangkaraya, Jamaludin Hasibuan.

Soal hilangnya pendapatan, "Saya pikir itu bukan kerugian karena bandara sifatnya pelayanan," tutur Hasibuan. Sebaliknya, otoritas bandara tetap harus mengeluarkan dana biaya operasional seperti listrik sebesar Rp 50 juta hingga 60 juta per bulan.

Rana, seorang warga Palangkaraya asal Jawa Timur, misalnya, tahun ini memilih tak mudik karena tidak ada pesawat yang melayani rute Palangkaraya-Surabaya selama kabut asap terjadi.

Ke Surabaya sebenarnya bisa melalui Bandara Samsudin Noor, Banjarmasin, Kalimantan Selatan, ataupun naik kapal dari Pelabuhan Mentaya, Sampit, Kabupaten Kotawaringin Timur. Dari Palangkaraya ke Banjarmasin atau Sampit butuh berkendaraan selama empat jam. "Dari- pada repot, saya pilih tidak mudik dulu tahun ini," ujar Rana.

Pada tahun 1997, kabut asap juga membuat aktivitas penerbangan di Bandara Tjilik Riwut terganggu sekitar tiga bulan. Adapun pada tahun 2002, gangguan penerbangan berlangsung sekitar satu bulan. Dari pantauan Kompas, jarak pandang di dalam kota Palangkaraya tetap seperti sehari sebelumnya, pada kisaran 500 meter-1.000 meter.

Sementara itu, pencemaran udara kembali memburuk, yakni masuk kategori berbahaya setelah sehari sebelumnya tergolong sangat tidak sehat.

Di Palangkaraya ada tiga stasiun pemantau kualitas udara, yaitu di kawasan Murjani, Temanggung Tilung, dan kompleks Balaikota. Sebelumnya, Kepala Badan Pengelola dan Pelestari Lingkungan Hidup Daerah Kalimantan Tengah (Kalteng) Moses Nicodemus menuturkan, hingga saat ini Kalteng masih kekurangan alat pemantau kualitas udara. Pemantau udara di Palangkaraya adalah satu-satunya di Kalteng.

Alat pemantau itu juga berfungsi sebagai penyedia informasi bagi pejabat publik untuk menentukan kebijakan terkait kondisi lingkungan, semisal meliburkan sekolah saat kondisi udara dinyatakan berbahaya.

Di sisi lain, perlu dana besar untuk menyediakan stasiun pemantau udara. "Harga satu unit stasiun pemantau sekitar Rp 1 miliar. Biaya rutin pemeliharaan untuk ketiga stasiun, termasuk penggantian elemen, berkisar Rp 100 juta hingga Rp 150 juta per tahun," ungkap Moses. (CAS)

No comments: