Saturday, November 18, 2006

Asap, Beriev, dan Manfaat Pesawat Amfibi

Rabu, 08 November 2006
Ninok Leksono

Hari Rabu ini upaya pemadaman kebakaran hutan di Kalimantan Tengah dengan menggunakan dua pesawat Beriev Be-200 dijadwalkan akan dimulai. Meski di sejumlah wilayah hujan sudah mulai turun, dari pemberitaan tampak bahwa Kalimantan Tengah masih membutuhkan upaya tersebut.

Mungkin saja ada kesan "too little too late", dalam arti mengapa upaya ini tidak muncul satu-dua bulan lalu ketika asap demikian menyusahkan Singapura, Malaysia, dan Indonesia sendiri? Mengapa justru ketika musim hujan sudah mulai datang, dua Beriev baru datang? Sekadar catatan, dua pesawat buatan pabrik di Irkutsk ini sudah mendarat di Palembang pekan terakhir Oktober lalu.

Akan tetapi, selain "lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali", kita juga ingin melihat kedatangan dua pesawat amfibi Rusia itu dari sudut pandang yang lain.

Bersama dengan pemanfaatan sarana yang kita miliki, dalam hal ini enam helikopter BO-105, satu heli Puma SA-330, dan satu Hercules C-130, Beriev Be-200 membangun sosok sarana teknologi yang andal untuk upaya pemadaman kebakaran hutan. Khususnya untuk pesawat Beriev, harus dikatakan bahwa ini memang salah satu identitas kedirgantaraan Rusia yang unik. Di tengah inovasi produk kedirgantaraan dunia, khususnya dalam fungsi pemadaman kebakaran hutan, Rusia mampu menampilkan karya unggulan.

Dari udara

Menengok kembali riwayat penggunaan pesawat terbang untuk pemadam kebakaran, akhir Perang Dunia II menjadi satu periode penting. Berbagai kemajuan di bidang teknologi kedirgantaraan yang dipicu oleh kebutuhan perang lalu bisa dialihkan untuk keperluan nonmiliter, termasuk dalam menanggulangi kebakaran hutan.

Hingga dekade 1950-an, kalau sebuah hutan atau lahan kering sudah dilanda kebakaran, sedikit saja yang bisa dilakukan petugas pemadam kebakaran.

Tanker udara yang muncul sebagai salah satu inovasi kedirgantaraan berikutnya bisa mengubah situasi tersebut. Dengan adanya pesawat tangki itu, petugas pemadam kebakaran lalu bisa berupaya memadamkan kebakaran dengan mengebomkan air atau bahan penghambat api (fire retardant). Pada dekade 1950-an itu pejabat keselamatan publik di California melihat potensi pemadaman kebakaran dari udara (aerial firefighting) dan lalu bekerja sama dengan Dinas Kehutanan AS mengembangkan tanker udara.

Pesawat yang mula-mula digunakan adalah produk kelebihan Perang Dunia II, seperti Stearman PT-17 dan N3N, yang merupakan pesawat militer bersayap dua. Tentu saja pesawat ini segera disadari terlalu kecil untuk mengangkut bahan kimia penghambat api atau air sehingga terpikir untuk mencari pesawat militer dengan ukuran lebih besar. Ide memanfaatkan pesawat militer ada untungnya karena pesawat tersebut segera bisa diperoleh dan relatif tidak mahal.

Desain pesawat ini selain mempunyai kemampuan manuver dan kecepatan memadai, juga kuat konstruksinya guna dimuati air dalam jumlah besar.

Dari konsep ini, AS yang sering dilanda kebakaran hutan, khususnya di California, lalu punya armada pesawat Perang Dunia II yang beralih fungsi menjadi pesawat pemadam kebakaran, mulai dari B-17 Flying Fortress (Boeing), PBY Supercat (Grumman), dan C-119 Boxcar (Fairchild). Dalam perkembangan berikut muncul pula P-3 Orion (Lockheed) dan C-130 Hercules (Lockheed). Dari jenis pesawat sipil, tipe yang dikenal sebagai tanker udara adalah DC-7 (Douglas) dan Il-76 (Ilyushin).

Sementara itu, helikopter—termasuk Black Hawk (Sikorsky)—juga disertakan dalam upaya ini meski fokusnya lebih untuk mengamankan pemadam kebakaran dan korban dari zona api yang berbahaya, atau untuk menangani kebakaran yang lebih kecil skalanya.

Dari CL-215 ke Be-200

Dari jajaran pesawat pengebom air yang dari awal dirancang khusus untuk keperluan ini adalah CL-215 (Canadair). Pembom air (water bomber) yang mulai dibuat tahun 1967 ini segera dipesan oleh Provinsi Quebeq di Kanada dan terus dibuat hingga tahun 1990. Selain Kanada, pembelinya adalah Perancis, Yunani, Italia, Spanyol, Thailand, Venezuela, dan Yugoslavia.

CL-215 bisa terbang hanya setinggi 30 meter di atas kebakaran. Saat itu pintu yang ada di perut—kalau di pesawat militer seperti pintu ruang bom—terbuka untuk menggelontorkan air atau bahan kimia seberat 4.536 kilogram ke arah api.

Sukses CL-215 yang bermesin piston melahirkan dorongan untuk membuat CL-415 yang bermesin jet.

Dirancang bertipe amfibi, CL-215 bisa lepas landas dan mendarat, baik dari landasan darat maupun laut terbuka. Kemudian untuk pengisian air di darat, CL-215 hanya butuh waktu sekitar dua menit. Sementara itu, kalau mengambil air dari danau atau laut, pesawat ini bisa menyiduk lebih dari 1.400 galon (sekitar 5.000 liter) dalam tempo 10 detik. Pesawat lalu dengan mulus menanjak lagi ke udara.

Adapun Be-200 yang bermesin turbofan dan dikembangkan oleh Berieva Aviatsionnyi Kompaniya dan Asosiasi Produksi Pesawat Irkutsk terbang pertama kali tahun 1998, dan kalangan Barat melihatnya untuk pertama kali di Pameran Kedirgantaraan Paris 1999.

Sebagaimana CL-215 yang dari awal dirancang sebagai pesawat amfibi, Be-200 juga bisa lepas landas dan mendarat di laut. Dalam misi pemadaman kebakaran, Be-200 yang berbahan bakar penuh bisa terbang sejauh 200 kilometer (km) dari satu landasan ke reservoir air, dan melakukan misi bolak-balik dari reservoir ke lokasi kebakaran guna melontarkan air total sebanyak 310 ton, lalu terbang sejauh 200 km ke landasan tempat ia berangkat.

Teknologi dirgantara

Di negara-negara seperti Amerika Serikat dan Kanada yang juga sering terjadi kebakaran hutan dan lahan, musim panas menjadi tantangan tersendiri bagi petugas pemadam kebakaran yang bertugas menyelamatkan penduduk, properti, dan satwa liar. Di tengah tantangan seperti itu, tulis Roger Guilllemette di situs answers.com, hadirnya tanker atau pembom air dengan raungan mesin yang gagah terbang rendah di garis depan kebakaran amat membesarkan hati.

Suasana seperti itu pula yang kiranya juga dirasakan tatkala Be-200 hari-hari ini akan berkiprah di Kalimantan Tengah.

Tampak bahwa bangsa-bangsa yang dihadapkan pada tantangan kebakaran hutan merespons problem komplet dengan mengerahkan teknologi dirgantara. Bangsa Indonesia rupanya tak sanggup merespons problem yang ia ciptakan sendiri dengan cara seperti itu. Tak ada pemikiran, misalnya, CN-235 dimodifikasi untuk mengangkut air, lebih-lebih merancang pesawat amfibi. Padahal, selain kebakaran hutan, pesawat amfibi potensial diperlukan untuk berbagai tujuan lain, termasuk untuk menggalakkan wisata perairan mengingat dua pertiga wilayah Indonesia adalah air.

No comments: