Kamis, 05 Oktober 2006 01:11
Bagi petani kecil, penggunaan api untuk pembersihan lahan merupakan metode yang paling mungkin untuk dilakukan karena keterbatasan tenaga kerja dan dana.
Oleh: Marinus Kristiadi Harun SHut
Peneliti Pada Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru
Kabut asap merupakan fenomena yang rutin kita alami terutama pada akhir musim kemarau atau menjelang musim penghujan. Maraknya kabut asap tidak bisa dipisahkan dari kebiasaan penggunaan api untuk pembersihan lahan, dan ini menjadi kebiasaan petani (skala kecil) dan pengusaha perkebunan/kehutanan (skala besar). Penggunaan api untuk pembersihan lahan merupakan cara yang paling mudah, murah dan cepat (efisien). Maka, selama belum ditemukan metode baru yang lebih efisien untuk membuka lahan, pembersihan lahan dengan cara membakar akan terus dilakukan. Ini berarti, pada setiap menjelang musim tanam kita harus terbiasa menikmati kabut asap.
Kabut asap akan mengakibatkan berbagai dampak negatif, seperti gangguan kesehatan (ISPA, asma bronkial, bronkitis, radang paru, iritasi mata dan kulit). Pada tingkat tertentu dapat mengganggu kegiatan transportasi baik darat, laut maupun udara. Hasil investigasi tim EMC (Environment Management Center) yang dikutip Ngatiman et all (2006) mengenai kandungan kabut asap akibat kebakaran hutan di Kalimantan dan Sumatera pada November 1997 menyatakan: a) hasil uji partikel berukuran dibawah 10 m yang menyebabkan asma menunjukkan angka yang tinggi yaitu 1.600 g/m3 pada angka maksimum rata-rata harian. Nilai tersebut 6,15 kali lebih tinggi dibandingkan angka standar lingkungan di Indonesia sebesar 260 g/m3, b) hasil analisis 17 unsur PAHs (polycyclic aromatic hydrocarbon) dalam PM menunjukkan, konsentrasi (kepekatan) tiap unsur antara 2,7 - 65,4 kali dibandingkan unsur yang sama di Jakarta. Konsentrasi benzo(a)pyrene merupakan unsur paling beracun sebesar 12 kali dibandingkan unsur yang sama di Jakarta, c) konsentrasi isopren yang tinggi menyebabkan emisi tumbuhan dan pembakaran biomasa. d) konsentrasi metil halida yang merusak lapisan ozon meningkat.
Data hasil investigasi itu menunjukkan, kandungan asap sangat berbahaya bagi kesehatan dan sangat merusak lingkungan apalagi bila rutin tiap tahun terjadi. Kabut asap harus dipandang sebagai ancaman serius terhadap usaha untuk mewujudkan generasi mendatang yang lebih sehat, karena secara nyata menyebabkan gangguan kesehatan dan merusak lingkungan. Oleh karena itu, penanggulangan dan pencegahan terjadinya kabut asap yang melampaui ambang batas aman bagi kesehatan dan kelestarian lingkungan harus ditetapkan sebagai salah satu kebijakan prioritas Pemprov Kalsel.
Mereduksi Kabut Asap
UU menegaskan, tidak boleh menggunakan api (membakar) untuk kegiatan pembersihan lahan (landclearing). Namun demikian, penggunaan api untuk kegiatan pembersihan lahan tetap saja marak terjadi. Ini karena penggunaan api untuk pembersihan lahan merupakan cara paling mudah, murah dan cepat (efisien).
Bagi petani kecil, penggunaan api untuk pembersihan lahan merupakan metode yang paling mungkin untuk dilakukan karena keterbatasan tenaga kerja dan dana. Bisakah penggunaan api bagi petani kecil dilarang? Kata kuncinya adalah ada pada kalimat ‘metode baru yang lebih efisien’ dan ‘melarang atau mengatur penggunaan api’.
Empat ‘skenario’ paling mungkin dilakukan untuk mengatasi gangguan kabut asap di daerah kita ini: a) mengatur penggunaan api dalam kegiatan pembersihan lahan (control burning); b) melarang penggunaan api (zero burning); c) jeda bakar; d) menciptakan metode penyiapan lahan baru yang lebih murah, mudah dan cepat (efisien).
Untuk skenario pertama, kata mengatur berarti memperbolehkan penggunaan api secara terbatas dalam kondisi yang ditentukan (dalam batasan ruang dan waktu) dan melarang penggunaan api dalam kondisi lainnya. Berarti, penggunaan api dilarang pada kondisi dan bentuk kegiatan yang dapat menimbulkan dampak paling besar. Seperti kabut asap melebihi ambang batas normal bagi kesehatan dan kelestarian lingkungan, serta bahaya kebakaran hutan dan lahan dalam skala lebih luas.
Skenario kedua, melarang penggunaan api. Penggunaan api untuk pembersihan lahan dilarang. Pertama, penggunaan api di lahan gambut dilarang sama sekali dalam kondisi dan tujuan apa pun. Hal ini dilakukan mengingat lahan gambut merupakan tipe lahan yang rapuh (fragile), sehingga jika telah mengalami kebakaran cenderung akan amblesan (subsidence), bersifat kering tak balik (irreversibledrying) dan menolak air. Kondisi gambut yang telah rusak cenderung sulit direhabilitasi.
Kedua, kegiatan budidaya tanaman (termasuk hortikultura, perkebunan dan kehutanan) oleh perusahaan. Pelarangan penggunaan api dimungkinkan sebab perusahaan mempunyai dana, keahlian dan akses terhadap peralatan yang diperlukan untuk melakukan pembersihan lahan dengan metode tanpa bakar. Selain itu, luas areal yang dikelola perusahaan biasanya mencapai puluhan bahkan ratusan ribu hektare, sehingga penggunaan api untuk pembersihan lahan dikuatirkan sulit dikendalikan dan kabut asap yang dihasilkan akan melampaui ambang toleransi.
Ketiga, pembersihan lahan terlantar (tidur) dan lahan yang peruntukannya bukan untuk pertanian. Penggunaan api untuk pembersihan lahan tidur perlu dilarang, sebab sering memicu terjadinya kebakaran yang tidak terkendali. Bila perlu, lahan terlantar dibebani pajak lebih tinggi dan bila terjadi kebakaran di lokasi tersebut didenda dengan nilai lebih tinggi pula. Hal ini dilakukan agar menciptakan efek jera bagi pemilik lahan, sehingga terkondisikan untuk merawat (memproduktifkan) lahannya. Pembersihan lahan untuk keperluan nonpertanian seperti pemukiman dan pusat perbelanjaan yang biasa dilakukan pengembang, juga tidak boleh menggunakan api.
Skenario ketiga, memberlakukan jeda bakar dengan cara menetapkan suatu musim kering dan tidak boleh ada kegiatan pembersihan lahan dengan membakar. Penetapan kondisi ini melibatkan berbagai instansi terutama badan meteorologi dan geofisika (BMG) dan dinas terkait. Penetapan kondisi ini berdasarkan pada kondisi iklim yang ekstrem (sangat kering, angin kencang, suhu udara tinggi, dll) yang menyebabkan tingginya tingkat kerawanan terjadinya api tak terkendali yang memicu kebakaran dalam skala lebih luas. Pemberlakuan aturan ini akan lebih efektif bila disertai insentif atau bantuan bagi petani tradisional yang dalam kondisi tersebut dilarang menggunakan api. Bantuan bisa berupa dana atau peralatan untuk membersihkan lahan seperti handtractor.
Skenario keempat, menciptakan metode penyiapan lahan baru yang lebih murah, mudah dan cepat (efisien). Menurut Simorangkir (2002), keuntungan ekonomi dari penggunaan api sangat spesifik dan tergantung pada banyak faktor seperti tenaga kerja, peralatan, kondisi topografi lahan dan jumlah tanamannya.
Dalam rangka menciptakan metode penyiapan lahan baru yang lebih murah, mudah dan cepat (efisien), pemerintah perlu mendorong aplikasi teknologi penyiapan lahan tanpa bakar. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan kebijakan. Pertama, mengembangkan sistem wanatani (agroforestry) sebagai salah satu alternatif penggunaan lahan yang berkelanjutan untuk perladangan berpindah. Kedua, mengembangkan metode pengomposan dengan bantuan aktivator. Gulma dan seresah yang terdapat di lahan merupakan sumber bahan organik potensial yang dapat dibuat menjadi kompos untuk menambah kesuburan lahan. Pembuatan kompos secara tradisional memerlukan waktu lama. Namun dengan ditemukannya berbagai macam aktivator, waktu pembuatan kompos dapat lebih dipersingkat, hanya beberapa minggu. Aktivator seperti orgadec, stardec, harmony, fix-up plus dan EM4 perlu dikembangkan dan disosialisasi kepada petani. Ketiga, mengembangkan ternak lebah madu, terutama jenis Apis cerana dan A melifera. Keberadaan ternak lebah madu diharapkan dapat mengurangi intensitas pembakaran lahan, sebab adanya asap dapat mengganggu aktivitas lebah. Kempat, mengembangkan pemakaian herbisida terutama herbisida organik. Pemerintah menyubsidi harga herbisida khusus bagi petani tradisional atau menyediakan insentif lain (misalnya bantuan handtractor untuk kelompok tani), bagi petani tradisional yang mau menyiapkan lahan pertaniannya tanpa membakar.
Kabut asap yang terus terjadi dari tahun ke tahun menunjukkan belum tingginya kepedulian serta sinergisitas pihak mengatasi permasalahan tersebut. Pengendalian kabut asap khususnya dan kebakaran umumnya, memerlukan tindakan sistematis, terencana, menggunakan teknologi yang tepat dan paling penting adalah kepedulian kita semua. Langit Kalsel yang biru terbebas dari kabut asap bukankah menjadi kerinduan kita semua? Mari kita wujudkan kerinduan kita itu. Semoga keinginan kita merindukan langit Kalsel tanpa asap, mendapat berkat dari Tuhan YME. Amien.
e-mail: marinuskh@yahoo.co.id
Copyright © 2003 Banjarmasin Post
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment