Rabu, 27 September 2006 00:43
ASAP tebal yang menyaput sejumlah wilayah Kalimantan Selatan dan Kalimatan Tengah satu pekan terakhir, telah melambungkan kembali nama Kalimantan di pentas nasional dan internasional.
Tentu seperti tahun-tahun sebelumnya, Kalimantan tenar akibat sisi negatifnya. Kebakaran lahan gambut berhari-hari, berbulan-bulan telah menciptakan kumpulan asap tebal yang melayang ke mana-mana.
Tak hanya warga Kalimantan yang kena getahnya, negeri jiran Malaysia dan Singapura berulangkali melakukan protes terhadap pemerintah kita karena lingkungan udara mereka tercemar asap kiriman dari Kalimantan dan provinsi lain.
Selain mengganggu jalur transportasi darat, laut dan udara, kumpulan asap mengundang penyakit yang tak bisa dipandang sebelah mata. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) yang menyerang warga Palangka Raya saat ini memliki implikasi luas.
Keterlambatan penanganan medik atau ketika penyakit menjadi kronis akan meningkatkan kerawanan kesehatan, khususnya pada jaringan paru. Tentu pengobatan penyakit yang satu ini memerlukan biaya tak sedikit, belum lagi penatalaksanaannya memerlukan waktu minimal dua tahun.
Di lain pihak, secara sosial ekonomi masyarakat Kalimantan umumnya dalam kondisi kurang baik, menyusul ambruknya perusahaan kayu akibat pemberantasan illegal loging. Efek good will pemerintah ini menciptakan penggelembungan pengangguran. Epidemi ISPA berarti menambah beban sosial dan ekonomi masyarakat.
Pemerintah daerah boleh jadi berjuang keras memadamkan api yang membakar lahan gambut sekaligus menelisik perusahaan yang sengaja membakar lahan. Namun, terapi dan antisipasi memburuknya kesehatan masyarakat akibat menghirup asap ini, sepatutnya tak boleh dinomorduakan.
Setelah berbulan-bulan asap menyaput udara Kalimantan, belum ada hasil nyata dari usaha keras pemerintah daerah maupun pemerintah pusat memadamkan api. Tingkat kesulitan pemadaman di lahan gambut memang memerlukan cara dan keahlian tersendiri, karena harus berburu api di bawah gambut.
Sayang, usaha pemadaman yang dikumandangkan pemerintah lebih banyak bernuansa politis. Bom udara melalui pesawat! Faktanya, bombardir air dari udara ini kurang efektif, karena di bawah gambut api tetap membara. Asap pun tetap mengepul dan membuat kumpulan yang menyesakkan pernafasan.
Tak hanya di Kalimantan Tengah yang memiliki 1.034 titik api dalam areal seluas 1.427 hektare. Lahan gambut di Kalimantan Selatan pun terbakar dan hingga kini belum berhasil dipadamkan. Akibatnya, Kota Banjarmasin, Banjarbaru dan Kabupaten Banjar dikepung asap.
Asap telah menjadi agenda tahunan ketika musim kemarau tiba. Terlepas dari tengara belasan perusahaan yang sengaja membuka lahan kelapa sawit dengan cara membakar lahan gambut, pemerintah daerah cenderung melalaikan tindakan antisipatif dan tak belajar dari pengalaman.
Mencermati ribuan hotspot yang ada, mengandung makna bahwa usaha pembakaran lahan gambut bisa dilakukan kapan saja dan di mana saja. Kemudahan pembakaran ini bisa berarti akibat lemahnya sistem pengamanan terpadu terhadap lahan yang ada.
Peningkatan ekspor kelapa sawit memang menggiurkan bagi pemilik modal, sehingga perluasan areal perkebunan bakal mendatangkan rupiah lebih banyak. Di sinilah rumitnya di alam Indonesia yang getol korupsi, kolusi dan nepotisme.
Kolusi atau ‘persetujuan’ tak tertulis terhadap perluasan perkebunan ini, membuka bencana asap bagi Kalimantan. Di saat kalangan pemilik modal berburu harta melimpah, rakyat jelata yang tergolong miskin mencoba mempertahankan hidup juga dengan cara membuka lahan menggunakan api.
Inilah PR berat yang urgen ditangani pemerintah daerah dan pusat secara bijaksana. Menggunting keserakahan pengusaha yang ingin memupuk kekayaan di satu pihak harus dihentikan, dan mengentas kemiskinan rakyat Kalimantan di pihak lain sepatutnya diwujudkan sungguh-sungguh.
Copyright © 2003 Banjarmasin Post
Friday, October 13, 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment