Sabtu, 30 September 2006 01:22
Oleh:
Hamdani Fauzi
Mahasiswa Pascasarjana UGM Jogjakarta
Sains membuktikan, hewan memiliki keunikan tertentu yang tak dimiliki manusia.
Satu minggu sebelum terjadi gempa di Jogja, langit di wilayah ini senantiasa diselimuti mendung ‘duka’ berwarna hitam pekat. Namun tidak seperti mau turun hujan, karena di balik awan mendung tersebut masih terlihat aura cahaya matahari dan terasa sekali suhu yang sangat dingin, lebih-lebih menjelang sore.
Atas terjadinya fenomena ini, istri saya berkomentar dengan dialek Banjarnya: "Harinya ni pina maram tarus tapi kada kaya handak hujan, sama persis kaya waktu ada tokoh besar nang wafat." Saya hanya menanggapi: "Paling-paling langitnya tatutup dabu Merapi." Karena, memang pada saat itu kondisi Merapi --gunung teraktif di dunia-- ditingkatkan statusnya menjadi Awas dan penduduk dalam radius sekitar tujuh kilometer mulai dievakuasi ke tempat yang lebih aman.
Tepat pukul 05.55 WIB pada Sabtu 27 Mei 2006, Kota Jogja dan sekitarnya memang mengalami duka yang mendalam karena hantaman bencana gempa berkekuatan 5,9 SR yang menewaskan ribuan jiwa, menghancurkan lebih satu juta rumah dan harta benda serta korban fisik dan psikologi lainnya.
Sementara itu, beberapa saat sebelum terjadinya bencana gempa dan tsunami di Aceh yang memakan korban ratusan ribu jiwa, diberitakan sekelompok besar burung putih berarakan ke tengah Kota Banda Aceh seakan memberi pertanda akan terjadi bencana yang sangat dahsyat.
Contoh lain terjadi ketika Gunung Kiebesi di Maluku Utara yang meletus pada 1760 dan menelan korban jiwa sekitar 2.000 orang. Kemudian meletus kembali pada dengan dahsyat pada 1988, namun anehnya tanpa menelan korban jiwa. Padahal letusan itu melenyapkan puluhan desa dan ratusan hektare kebun cengkeh, pala, dan sebagainya. Ternyata, hal ini dikarenakan penduduk pulau tersebut lebih dulu mengungsi ketika gunung itu baru mengeluarkan asap. Dengan keyakinan akan terjadinya bencana alam muncul ketika melihat naiknya ikan di sekitar pantai dalam jumlah sangat besar, dan ini tidak pernah terjadi sebelumnya.
Uraian di atas hanya sebagian kecil contoh kasus bagaimana sebetulnya alam memberikan pertanda akan terjadinya bencana. Namun terkadang bahkan acapkali, kita baru tersadar setelah peristiwa itu menimpa kita. Fenomena alam yang terjadi bisa terlihat dari perubahan iklim seperti suhu udara, awan, kelembaban, cahaya matahari, bintang dan hujan, tanah, air sungai dll. Fenomena ini juga bisa kita amati dari perlilaku hewan, yang diyakini memiliki ketajaman luar biasa dalam mendeteksi dini peristiwa termasuk bencana yang akan terjadi.
Seringkali kita mendengar perkataan orang saat melihat kupu-kupu yang masuk rumah, pertanda akan ada tamu yang datang. Atau ketika mendengar suara burung hantu di malam hari, pertanda akan ada orang meninggal dunia di daerah itu.
Sebagian orang menganggap hal ini sebagai mitos. Bahkan tak jarang yang menganggapnya tahyul (khurafat) yang mesti dijauhi karena bisa menyesatkan. Namun, semestinya kita tak terburu-buru memberikan kesimpulan gegabah pada riwayat tersebut. Karena, sangat mungkin hal itu merupakan bagian dari tanda-tanda alam yang diberikan Allah SWT kepada manusia.
Sains membuktikan, hewan memiliki keunikan tertentu yang tak dimiliki manusia. Sebagai contoh Kelelawar, yang mampu memancarkan gelombang ultrasonik dari mulutnya dan bisa memantul balik bila mengenai benda di depannya serta dapat ditangkap kembali oleh telinganya, sehingga dia dapat terbang cepat dan aman di gelap gulita malam. Demikian pula Gurita, yang mampu berkamuflase dengan mengubah bentuk dan warna tubuhnya sesuai bentuk dan warna lingkungan di sekitarnya.
Bahkan pada musibah tsunami yang memporakporandakan Aceh dan Sumut. Seorang pakar margasatwa, HD Ratnayake, meyakini tentang insting hewan yang mampu mendeteksi dini bencana alam, setelah mengetahui tak ada bangkai hewan liar yang ditemukan pascatsunami yang terjadi di Samudera Hindia. Ketika tsunami terjadi, air laut naik dan menggenangi tanah di darat hingga sejauh 3,5 kilometer serta menghancurkan bangunan di Taman Nasional Binatang Yala yang dihuni gajah, rusa, serigala, buaya, dan binatang lainnya.
Padahal, dalam bencana itu banyak wisatawan dan pegawai taman tewas ditelan gelombang. Namun di luar dugaan, berbagai jenis binatang liar di taman itu lolos dari bencana tersebut. Menurut pegawai Cagar Harimau Liar di Pulau Sumatera, Debby Melt, binatang liar sangat peka terhadap bencana alam. Mereka sangat mungkin lebih dulu merasakan akan terjadinya tsunami. Selain itu, getaran yang ditimbulkan tsunami dapat mengakibatkan perubahan tekanan udara. Sedangkan perubahan tekanan udara bisa memberikan peringatan dini, dan mengingatkan binatang untuk pindah ke tempat aman.
Berangkat dari fenomena itu, kita harus belajar banyak memahami fenomena alam yang terlihat ataupun di rasakan indra kita baik dari perilaku binatang, tumbuhan maupun kondisi fisik yang ada di sekeliling kita dengan memberi pertanda mengenai apa yang sebenarnya akan terjadi. Termasuk bencana ekologis buatan manusia seperti banjir, tanah longsor, kekeringan dan kebakaran hutan yang lebih sering terjadi karena salah urus lingkungan yang berlangsung secara akumulatif dan terus-menerus sedemikian rupa sehingga mengakibatkan kolapsnya pranata kehidupan masyarakat.
Perlu Dimasyarakatkan
Meskipun bukan sebuah kesimpulan yang absolut, saya mencoba berhipotesis bahwa selalu ada fenomena alam yang muncul manakala akan terjadi bencana alam. Banyak sudah contoh kasus yang menyertai dan membuktikan hipotesis saya tersebut. Namun sifatnya masih berserakan dan hanya sedikit dari kita yang menyadari dan memahami untuk menjadikanya sebagai pelajaran dalam manajemen bencana.
Saya beranggapan perlunya mengumpulkan cerita yang berserakan, mengeksplorasi fenomena alam pertanda bencana tersebut menjadi sebuah buku atau naskah yang dipublikasikan agar dapat disosialisasi kepada masyarakat luas sebagai referensi alternatif mengantisipasi kemungkinan terjadi bencana. Walaupun pada akhirnya Takdir Allah SWT yang menentukan, termasuk munculnya fenomena alam lainnya.
Pemasyarakatan terhadap pemahaman fenomena alam pertanda bencana ini, tentunya perlu disesuaikan dengan situasi dan kondisi lokal. Misalnya untuk Kalsel, kemungkinan terjadi gempa dan tsunami memang relatif kecil dibanding Jawa dan Flores. Walaupun perlu dicatat, tsunami jauh (distant tsunami) yang terjadi di Chili pada 22 Mei 1960 mampu mencapai Okinawa dan pantai timur Jepang setelah menempuh perjalanan selama 22 jam.
Daerah Kalsel saat ini pada umumnya rawan bencana banjir, longsor dan kebakaran hutan sehingga pemahaman yang benar tentang fenomena alam ini perlu disosialisasikan. Sumber utama dari banjir dan sebagian tanah longsor itu adalah hujan deras yang turun dalam waktu lama. Di negeri yang berada dalam wilayah iklim tropis ini, setiap tahun hujan terjadi dalam rentang waktu empat hingga enam bulan. Memang ada sebagian tanah longsor yang diakibatkan gempa vulkanik maupun tektonik. Manusia sulit mengendalikannya.
Intinya adalah alam bukan sesuatu yang misterius. Bagi mereka yang akrab dan bersahabat dengan alam, justru alam adalah sahabat sejati yang bisa memberi pertanda mengenai apa yang sebenarnya akan terjadi. Tinggal bagaimana kita menyikapinya termasuk berupaya mencegahnya semaksimal mungkin.
e-mail: danie_bastari@yahoo.co.id
Copyright © 2003 Banjarmasin Post
Friday, October 13, 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
Fenomena alam hari ini muncul di pantai Ancol Timur, jam 13.00 ikan2 dari laut meloncat ke darat dalam jumlah banyak. Orang2 yg melihat segera berlarian gembira untuk mengumpulkan ikan2 tersebut. Kita tidak tahu apa yang terjadi, yang jelas hari ini suhu sangat panas, sedangkan biasanya cuaca mendung dan suhu agak dingin, disertai hujan.
Post a Comment