S Rabu, 27 September 2006
M Syaifullah
Hari Minggu, 24 September. Abah Tika (60) memarkir sepedanya di tepi jalan. Keranjang besar di sepedanya masih penuh ikan segar. Belum ada yang membeli.
Padahal, hari itu jarum jam sudah menunjukkan angka tujuh. Biasanya pada bulan Ramadhan seperti sekarang ini detak kehidupan Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan (Kalsel), hadir lebih awal. Banyak warga yang keluar rumah untuk jalan santai atau bercengkerama sebelum mentari muncul di ufuk timur.
Biasanya mereka inilah yang lebih cepat melariskan dagangan para pedagang ikan keliling, seperti Abah Tika, warga Kecamatan Gambut, Kabupaten Banjar, itu. Bulan Ramadhan biasanya adalah bulan rezeki bagi mereka.
Namun, kali ini rumus itu agaknya tidak berlaku bagi Abah Tika dan para pedagang ikan lainnya. "Bagaimana mau berkeliling kalau jalanan sangat gelap tertutup asap kabut tebal. Saya lebih baik merugi tak berjualan ikan ketimbang menanggung risiko kecelakaan. Hari ini asap sangat tebal," kata Abah.
Abah membeli ikan nila, baung, dan sepat siam segar di Pasar Gambut pada pukul 05.00. Modalnya Rp 200.000 untuk sekitar 17 kilogram ikan.
Dia berusaha menjajakan ikan-ikan itu lebih pagi pada bulan puasa ini. Harapannya, ikan dapat cepat terjual habis dan total keuntungan sebesar Rp 20.000-Rp 30.000 dapat diraih.
"Tadinya keuntungan ini bisa membantu istri beli makanan buat buka puasa. Tetapi, karena menjualnya di atas pukul 09.00, tidak bisa laku semuanya," ucap Abah.
Abah pasrah dengan cuaca buruk ini. Kalaupun mau protes, ke mana dan kepada siapa, ia tak tahu.
Kabut asap yang pekat dalam tiga hari terakhir hingga Selasa (26/9) membuat atmosfer bulan puasa kali ini berbeda dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Untuk ke luar rumah seusai sahur, warga harus berhadapan dengan asap yang justru tebal pada dini hari hingga sekitar pukul 07.00.
Biasanya, setelah makan sahur, warga ke luar rumah. Jalan-jalan di kawasan permukiman selalu dipenuhi lelaki, perempuan, remaja, dan anak-anak. Berpakaian rapi dan bersih, mereka berbondong-bondong menuju masjid dan mushala.
Ipeh, warga Kecamatan Kertak Hanyar, menuturkan, pada hari pertama puasa hanya lima warga yang hadir di mushala dekat rumahnya untuk menunaikan shalat subuh berjamaah. Padahal, di hari-hari biasa pun sedikitnya 40 warga berjamaah di tempat ibadah tersebut.
Pekatnya asap yang menyesakkan napas dan sedikitnya jemaah akhirnya membuat ceramah subuh di mushala ditiadakan dalam dua hari pertama Ramadhan. "Ceramah baru diadakan pada hari ketiga setelah jumlah jemaah 20 orang," tutur Ipeh.
Ipeh juga merasa kehilangan suasana gembira yang biasa dia nikmati saat memulai hari dalam bulan puasa. Dia belum melihat remaja-remaja berkumpul di mushala, remaja yang berkeliling permukiman dengan sepeda motor, atau anak-anak yang bermain di jalan setelah makan sahur dan shalat subuh. Semuanya lebih memilih bergiat dan beribadah di dalam rumah, menghindar dari kabut asap.
Ipeh tidak sendirian. Fadli, warga Kilometer 15 Kecamatan Gambut, juga kehilangan tradisi bulan puasa lainnya, "baragakan sahur".
Itu adalah aktivitas warga— biasanya remaja dan anak-anak lelaki—yang berkeliling kampung untuk mengingatkan warga agar mulai makan sahur. Mereka membangunkan warga dengan membunyikan berbagai alat musik, seperti kendang dan gamelan, serta berteriak berirama.
Seperti halnya Ipeh dan Abah, Fadli juga hanya bisa maklum. Siapa yang mau dan orangtua mana yang tega membiarkan anak mereka ber-"baragakan" di tengah kabut asap.
Fadli sendiri merasakan jahatnya kabut asap. Dalam beberapa hari terakhir dia dan banyak warga yang lain menderita pilek, batuk, dan sakit tenggorokan. "Walau sudah berobat atau beli obat di puskesmas, penyakit itu lamban sembuh," katanya.
Warga menderita
Kabut asap tebal memang membuat warga menderita. Mereka yang paling merasakan, antara lain, adalah warga yang tinggal di pinggiran Kota Banjarmasin, Banjarbaru, dan Kabupaten Banjar.
Dari mana kabut asap tersebut? Dalam sepekan terakhir, kebakaran yang terjadi di kawasan hutan, semak belukar, areal lahan pertanian, dan rawa lebak masih marak terjadi.
Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Hulu Sungai Selatan Udi Prasetyo mengatakan, kebakaran hutan di wilayahnya memang berkurang. Yang banyak terjadi adalah pembakaran lahan untuk ladang dan sawah di lahan rawa lebak.
Kebakaran yang sulit terkontrol antara lain terjadi di lahan rawa lebak Kecamatan Daha Utara dan Daha Selatan Hulu Sungai Selatan. Selain itu, juga di kawasan hutan dan semak belukar di Kecamatan Bati-bati, Jorong dan Kintap, Kabupaten Tanah Laut.
Bahkan, para penebang liar di daerah ini juga membakar areal bekas tebangan untuk menyamarkan kegiatan mereka sehingga terkesan sebagai pembukaan ladang.
"Musim" kabut asap mencerminkan betapa buruknya penanganan kerusakan lingkungan di provinsi ini. Lepas dari kabut asap, hutan-hutan Kalsel juga telah dieksploitasi secara ilegal dengan jumlah tebangan satu juta meter kubik per tahun dalam lima tahun terakhir.
Kerusakan lahan di provinsi ini juga sangat parah, mencapai 500.000 hektar. Seluas 50.000 hektar dalam kondisi sangat kritis.
Ini belum ditambah dengan penambangan yang tidak mengindahkan kelestarian lingkungan dan membiarkan lubang-lubang bekas tambang tanpa direklamasi. Akibatnya, sebagian wilayah Kalsel menjadi suram dan terpuruk karena pada musim hujan dilanda banjir yang hebat.
Sementara pada musim kemarau, selain kebakaran dan kekeringan, warga juga terpaksa menghirup asap seperti saat datangnya bulan Ramadhan sekarang ini.
Saturday, October 21, 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment