Thursday, October 19, 2006

Kabut Asap yang Jadi Rutinitas Tahunan

Senin, 11 September 2006
m syaifullah dan c anto saptowalyono

Penerbangan ditunda 90 menit! Warga diharapkan mengenakan masker pernapasan! Sekolah diliburkan sementara! Pengusaha berada di belakang kebakaran lahan! Peladang berpindah adalah pelaku pembakaran! Indonesia agar berhenti mengekspor kabut asap!

Kalimat seperti itu menjadi partitur yang berulang sepanjang tahun seiring datangnya kemarau. Salah satu panggungnya tetap sama: Kalimantan. Pementasannya tidak berubah: kebakaran hutan dan lahan.

Setiap kemarau datang, kepanikan menjelang. Tim pemadam bergerak tunggang langgang ke berbagai lahan yang berkobar. Titik panas bermunculan, kabut asap menghadang.

Pejabat menggugat pengusaha kehutanan industri dan perkebunan yang arealnya terbakar. Pengusaha menuding peladang berpindah yang memasuki wilayahnya. Peladang mengaku memiliki lahan sendiri untuk dibakar.

Pemadam dan api, titik panas dan kabut asap, masker dan penyakit pernapasan, serangan dan pembelaan. Saat kemarau di Kalimantan, semua fakta, data, dan argumentasi muncul bersamaan, berlawanan dalam berbagai nada bak ekspresi contrapuntal dalam musik Barok.

Asap Kalimantan menjadi momok. Pada kemarau tahun ini titik panas bermunculan tiap hari. Kadang puluhan, kadang ratusan. Semua diikuti kabut asap kecuali Kalimantan Timur yang relatif belum terganggu. Penerbangan di Bandara Supadio, Pontianak, Kalimantan Barat, terganggu. Penundaan terlama sekitar empat jam terjadi 24 Agustus lalu. Beberapa hari terakhir, giliran penerbangan ke Ketapang jadwalnya menjadi tidak menentu. Jarak pandang minimal 800 meter kerap tak terpenuhi karena asap.

Asap merugikan aktivitas keseharian, pemerintahan, dan perdagangan. Manajemen Hotel Peony di Jalan Gajah Mada, Pontianak, misalnya, harus memasang tudung plastik di restoran outdoor di lantai lima.

Pemadaman

Seperti halnya kebakaran hutan-lahan dan kabut asap yang datang tiap tahun, reaksi pemerintah setempat, wakil rakyat, warga, hingga pers sebagian besar juga sama rutinnya: menunggu dan bergerak dengan fokus memadamkan kebakaran. Ativitas belum berupa antisipasi yang cepat dan koordinasi yang semakin baik.

Pertengahan Agustus lalu di Kalimantan Selatan, misalnya, Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Tanahlaut Aan Purnama tidak percaya ketika tahu ribuan tanaman proyek rehabilitasi hutan dan lahan di kawasan Gunung Batu, Kecamatan Pelaihari, seluas 65 hektar ludes.

Kebakaran di hutan lindung itu dinilai tidak perlu terjadi kalau saja petugas pengendali kebakaran hutan dan lahan bertindak cepat. Aan heran, karena kantor operasional petugas pengendali kebakaran hutan dan lahan yang berada di bawah Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) berada tidak jauh dari lokasi kebakaran.

"Kalau di daerah itu tidak ada petugas yang berkompeten terhadap masalah, barulah wajar kenapa kebakaran di hutan itu begitu luas," kata Aan.

Walau apel siaga dan surat resmi agar kabupaten/kota memantau kemunculan titik panas sudah dilakukan, kebakaran di hutan, perkebunan, ataupun ladang pertanian tetap bermunculan di Kalimantan Selatan. "Nyatanya, sampai sekarang laporan itu sama sekali belum ada," ujar Kepala Dinas Kehutanan Sony Partono.

Menurut Sony, beberapa perusahaan pemegang hak pengusahaan hutan dan hutan tanaman industri juga belum melaporkan kawasan hutan mereka yang telah terbakar. Berdasarkan data citra satelit, hampir semua kawasan, hutan maupun lahan, ada titik panasnya.

Citra titik panas yang ditangkap satelit memang belum tentu merupakan kebakaran lahan atau hutan. Untuk itulah pemeriksaan langsung di lapangan menjadi penting.

Persoalan teknis lapangan itu sulit dilakukan. Padahal, daerah rawan kebakaran tetap sama, belukar di sepanjang jalan lintas luar Palangkaraya, lahan telantar di Tumbang Nusa, Pulang Pisau, Kapuas, lahan eks program lahan gambut sejuta hektar, juga perkebunan besar di sejumlah kabupaten seperti Sukamara, Lamandau, dan Katingan.

Wakil Kepala Dinas Kehutanan Kalimantan Tengah Agus Sutoko mengakui koordinasi masih menjadi masalah. Alhasil, penanganan titik api dan kebakaran selama ini masih keroyokan. Menurut tugas pokok, sebenarnya Manggala Agni dari BKSDA menangani kawasan hutan konservasi. Di kawasan pertanian masyarakat, dinas pertanian yang harus turun tangan.

Pencegahan

Ungkapan "mencegah lebih baik daripada mengobati" juga berlaku bagi kabut asap dan kebakaran hutan-lahan. Sudah saatnya kita semua bersama-sama bertindak berdasar program terpadu dan saling mendukung untuk mencegah kebakaran.

Hanya ada dua penyebab kebakaran. Pertama, api tersulut secara alami karena lahan yang kerontang dan tanaman mengering. Seperti di Kalimantan Timur, lapisan tanah atasnya begitu tipis, sementara lapisan bawahnya kaya dengan kandungan batu bara. Penyebab kedua, akibat ulah manusia baik sengaja maupun tidak sengaja.

Membakar adalah cara yang paling mudah dan murah untuk membuka lahan bagi bermacam tujuan, antara lain berladang, menyiapkan lahan perkebunan ataupun pemukiman.

Pascakebakaran yang melalap 5,2 juta hektar hutan dan lahan di Kalimantan Timur, terbitlah Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999. Masih ada Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 yang mengatur pengendalian kerusakan lingkungan yang berkaitan dengan kebakaran lahan atau hutan.

Oleh karena itu, upaya penyidikan terhadap tiga perkebunan yang diduga membakar lahan oleh Kepolisian Daerah Kalimantan Barat patut didukung. Menyangkut kebakaran areal hutan industri atau hutan produksi dan perkebunan, yang lebih penting adalah membangun kerja sama dan koordinasi antarinstansi pemerintah, perusahaan, dan warga.

Di satu sisi, peladang jadi tertuduh. Di sisi lain, ada kecurigaan warga hanya jadi alat untuk membuka lahan. Yang jelas, membiarkan peladang membakar lahan perkebunan akan merugikan perkebunan atau hutan industri itu sendiri karena pengusaha tak bisa mengolahnya.

Sementara itu, pemerintah juga harus memulai sosialisasi metode pembukaan lahan untuk perladangan masyarakat yang meminimalkan kebakaran liar penyebab kabut asap.

Fahrunsyah, Kepala Pusat Penelitian Pengembangan Wilayah Universitas Mulawarman, menyatakan, dua pendapat itu harus sama-sama diterapkan dan dicoba beriringan.

Banyak akademisi, teknokrat, dan aktivis lingkungan mengetahui suku Dayak memiliki kearifan lokal dalam membakar lahan sehingga api tidak menyebar liar, lahan tidak serentak dibakar sehingga dampak asapnya tidak luas dan berlangsung hanya hitungan hari. Namun kini banyak petani dan peladang bukan dari etnis Dayak atau sudah meninggalkan metode pembakaran lahan tradisional.

Di sisi lain, Fahrunsyah optimistis upaya untuk membentuk budaya pertanian baru berupa pertanian menetap bukan sesuatu yang tidak mungkin. Apalagi faktor pendukungnya sudah ada. Dia mencontohkan, banyak kabupaten di Kalimantan Timur mengalokasikan dana ataupun peralatan pertanian untuk membantu warganya.

Pertanyaan yang lebih penting, maukah memulai semua upaya pencegahan itu dari sekarang? (YNS)

No comments: