Tuesday, August 08, 2006

Banjir Menderita, Mendangkal Semua Rugi

Kompas; Rabu, 09 Agustus 2006

M Syaifullah

Saat memantau banjir yang melanda tujuh desa tepian Sungai Barito di Kecamatan Kuripan, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan, awal Mei silam, terlihat empat tongkang bermuatan batu bara melintasi sungai. "Emas hitam" itu diangkut menuju Laut Jawa.

Bagi warga tepian Barito atau yang tidak jauh dari sungai, bencana mengintip pada musim hujan. Banjir sewaktu-waktu menyerbu. Sawah-sawah terendam, rumah dipenuhi air dan lumpur, mencari makanan susah, bekerja tak mungkin, penyakit mengintai.

Sebaliknya, banjir dan musim hujan membuat pelayaran kapal batu bara, kayu, dan barang berlangsung lancar. Mereka dapat menyusuri sungai sejauh mungkin ke hulu, tempat sejumlah kota di beberapa kabupaten di Kalimantan Tengah berada, ataupun ke hilir hingga muara.

Banjir adalah waktu yang pas untuk mengalirkan kayu-kayu tebangan. Kalaupun kini sepi, itu karena adanya operasi penindakan pembalakan liar di Kalimantan.

Kemarau datang. Awal kemarau seperti sekarang berkah bagi warga tepian Barito. Mereka leluasa menangkap ikan seiring mendangkal dan menyusutnya sungai. Lahan pun ditanami.

Sebaliknya, awal kemarau ini menjadi awal penderitaan awak-awak kapal seperti yang dialami kapal-kapal sungai pengangkut barang rute Banjarmasin, Kalimantan Selatan-Muara Teweh-Purukcahu di Kalimantan Tengah.

Dalam sebulan terakhir sebagian besar kapal itu hanya bertambat di Banjarmasin. Apa daya, Barito tak bisa disusuri ke hulu karena pendangkalan dan munculnya gosong-gosong lumpur. Pelanggan pun meninggalkan mereka, memilih mengirimkan barang dengan kendaraan darat.

"Tidak hanya kapal yang menganggur, kami pun kehilangan penghasilan. Hidup kami seperti tidak ada pilihan, kalau kemarau seperti harus ’mati suri’ dulu. Setelah musim hujan barulah hidup kembali," kata Usuf, juragan kapal barang Doa Bersama yang melayani rute Banjarmasin-Purukcahu. Doa Bersama didampingi sembilan kapal lainnya yang bernasib serupa.

Pada musim hujan, saat debit air normal atau membanjir, tiap kapal dapat berlayar lima hari sekali. Juragan dan kelasi menikmati penghasilan memuaskan dari membawa 50 hingga 100 ton barang sekali angkut. Akhir Juni lalu mereka masih mereguk kejayaan tersebut.

Jika berlayar membawa barang, satu kapal mengantongi penghasilan kotor Rp 8 juta dari tarif angkut dikurangi bahan bakar. "Dihitung-hitung, kami sudah empat kali tidak berangkat. Kesepuluh kapal di sini sudah kehilangan Rp 320 juta," ungkap Usuf.

Bagi Ahar Jais, juragan kapal motor yang lain, kehilangan penghasilan seperti itu hampir selalu dialami setiap kemarau. Mereka hanya berharap permukaan air meningkat sesekali dan terkadang itu bisa terjadi.

"Ada pelanggan yang membiarkan barang dagangannya disimpan di kapal agar bisa diangkut jika air sudah dalam. Kepercayaan mereka kami jaga agar pada musim hujan mereka kembali memakai kapal ini," kata Ahar.

Mislan, Ketua Pusat Penelitian Sumber Daya Air Lembaga Penelitian Universitas Mulawarman di Samarinda, berpendapat, pendangkalan terkait dengan rusaknya lingkungan di daerah aliran sungai.

Saat hujan, air tidak bertahan lama di tanah dan meluncur ke sungai membawa banyak lumpur dan tanah. Saat kemarau, pasokan air ke sungai kecil dan sedimen yang dibawa saat musim hujan mengendap terutama di bagian hilir, memperlihatkan dasar yang berlumpur tebal.

Dari empat sungai terbesar di Kalimantan, ujar Wakil Kepala Dinas Perhubungan Kalsel Heri Hermansyah, Barito yang paling parah mengalami sedimentasi lumpur dan pendangkalan.

Terburuk

Setiap hari sedimentasi mencapai 11.000 hingga 12.000 meter kubik. Jika diandaikan, sedimen sebanyak itu cukup untuk memenuhi lima kolam renang ukuran olimpik seperti yang ada di Gelora Bung Karno Senayan.

Kepala Administrasi Pelabuhan (Adpel) Banjarmasin I Wayan Sujata bahkan yakin pendangkalan di alur pelayaran Barito nomor dua terburuk di dunia setelah Sungai Kuning di China.

Itu menjadikan alur pelayaran Barito sepanjang 14 kilometer dari muara hingga Pelabuhan Trisakti, Banjarmasin, rawan kecelakaan. Kalau tidak hati-hati, banyak kapal bersenggolan, kandas, dan tak bisa berlayar sama sekali. Sepanjang Juli lalu tercatat 22 kapal—kebanyakan tongkang batu bara—kandas di alur itu.

Pengerukan sedimen di alur itu juga sudah berhenti sejak 12 bulan lalu. Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan belum bisa memastikan kapan upaya itu dapat dilakukan mengingat dana yang tak ada.

Akar masalah

Namun, masalah alur Barito tidak sekadar pengerukan lumpur. Kalau hanya itu yang diperhatikan, sampai kapan pun tidak akan selesai dan lagi-lagi terbentur biaya pengerukan tersebut. "Yang dicari semestinya akar masalah dari semua ini," kata Wayan.

Bagi Kalsel, Sungai Barito merupakan jalur utama perekonomian dan perdagangan dari dulu hingga sekarang. Sejak zaman Hindu, tidak hanya lahir beberapa bandar, juga kerajaan, antara lain Negara Dipa, Negara Daha, dan Banjar.

Kini, Sungai Barito menjadi sarana utama angkutan kapal barang yang paling murah. Paling tidak, lima daerah bergantung langsung pada Barito, yakni Kota Banjarmasin, Kabupaten Barito Kuala, Barito Selatan, Barito Utara, dan Murung Raya.

Beberapa anak Sungai Barito menjadi jalur ekonomi Kabupaten Tapin, Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Utara, Tabalong, Kapuas, dan Barito Timur. Peranan Barito yang sangat penting harus diikuti perhatian terhadap penyelamatan sungai. Penebangan hutan ilegal ataupun yang ceroboh harus diakhiri. Rehabilitasi hutan dan daerah aliran sungai harus dijalankan dengan benar.

Bukan hanya rakyat di sepanjang sungai itu yang menderita akibat banjir, semuanya ikut merugi ketika terjadi pendangkalan.
(AMBROSIUS HARTO/ C ANTO SAPTOWALYONO)

No comments: