Rabu, 28 Maret 2007 01:26
Oleh: Syaharuddin
Mahasiswa Pascasarjana UGM asal Banjarmasin
Sejak tsunami menerjang Aceh, gempa di Jogjakarta, tenggelamnya KM Senopati, hilangnya pesawat Adam Air, banjir di Jakarta, tanah longsor di Manggarai (NTT), gempa di Padang, terbakarnya pesawat Garuda dan terakhir meninggalnya tujuh mahasiswa di NTB akibat cuaca buruk di Pegunungan Rinjani (14 Maret 2007), muncul pertanyaan: Bisakah kita terhindar dari musibah atau bencana tersebut? Atau bagaimana menyikapi bencana yang terjadi dari minggu ke minggu, bulan ke bulan dan tahun ke tahun itu?
Marilah kita merenung sejenak. Pemerintah begitu serius dan semangat menyikapi kondisi hutan di Indonesia. Apalagi negeri kita ini dulu sangat terkenal dengan kekayaan hutan tropisnya dan sebagai paru-paru dunia, pemerintah pun mengeluarkan berbagai kebijakan dari berbagai program kerja di Departemen Kehutanan sampai Dinas Kehutanan Provinsi. Di perguruan tinggi (PT) pun demikian, diadakan Fakultas Kehutanan di hampir seluruh universitas di Indonesia. Dosennya pun disekolahkan sampai tingkat doktoral dalam dan luar negeri dengan biaya negara yang tidak sedikit, agar benar-benar memahami tentang hutan dan berbagai permasalahannya.
Di Kaltim, bahkan ada sekolah khusus kehutanan milik pemerintah yang segala biaya pendidikannya ditanggung negara. Polisi hutan pun dibentuk demi menjaga hutan Indonesia dari tangan-tangan orang yang tidak bertanggung jawab.
Tapi apa hasilnya? hutan kita malah habis terkikis yang mengakibatkan berbagai bencana muncul kemudian. Mulai banjir, angin puting beliung sampai tanah longsor. Pertanyaan pendek ini sangat bertolak belakang dengan yang diupayakan pemerintah selama ini. Kalau kita katakan semua yang telah dilakukan pemerintah adalah mubazir alias pekerjaan sia-sia, saya kira terlalu berlebihan. Kita harus instropeksi diri masing-masing. Jangan-jangan kita termasuk orang yang suka membuang sampah sembarangan. Atau, suka menguruk sungai dan parit untuk membangun rumah pribadi atau ruko (bisnis). Atau ikut menyukseskan illegal logging dan illegal minning?
Analogi di atas hampir sama dengan analogi pendidikan di Indonesia. Pemerintah dengan segala upaya mendukung agar pendidikan Indonesia maju, mulai program yang dicanangkan dari tingkat pusat sampai kecamatan. Di PT juga sama, pada setiap kampus diadakan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, yang dosennya disekolahkan sampai tingkat doktoral. Masih belum puas, pemerintah mendirikan badan dan lembaga pendidikan baik negeri maupun swasta. Seperti Badan Nasional Standar Pendidikan (BNSP), Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) yang diadakan di setiap provinsi di Indonesia.
Tapi apa hasilnya? SDM kita justru lebih rendah jika dibanding dengan negara di Asia Tenggara lainnya, seperti Singapura dan Malaysia. Padahal, pada 1970-an Malysia justru berguru pada kita.
Dua analogi itu cukup membuat kita merenung, kemudian berpikir dan bertindak. Semua itu bisa dilakukan mulai dari kita sendiri, sejak sekarang dan dimulai dari hal paling kecil.
Saya pernah mendengar orang berbincang seputar bencana yang menimpa bangsa ini secara bertubi-tubi. Katanya, bepergian dengan kapal laut tenggelam (seperti KM Senopati dan Levina), naik pesawat hilang (seperti Adam Air) atau terbakar (seperti Garuda), naik kereta api tergelincir atau tabrakan, naik bus juga sama. Lalu, harus bagaimana kita jika keadaan transportasi seperti itu? Akhirnya, diputuskan untuk mengurangi bepergian, yakni lebih banyak tinggal di rumah. Kalau ia seorang ibu rumah tangga mungkin bisa, tapi bagi seorang pengusaha, dosen terbang, atau mahasiswa yang bolak-balik Jogjakarta-Banjarmasin-Jakarta untuk merampungkan tesis atau disertasinya.
Oleh karena waktu dan tempat ajal kita tidak bisa diketahui dengan pasti, maka jawabannya kita harus siap menghadapinya. Saya yakin, kita tahu caranya tinggal bagaimana melaksanakannya.
Bagi orang yang beragama, paling tidak ia punya konsep tersendiri dalam menyikapi bencana yang sewaktu-waktu dapat menimpa dirinya. Misalnya, seorang muslim sangat paham yang namanya ajal adalah salah satu dari tiga problem misterius dalam hidup manusia selain jodoh dan rezeki. Ajal bisa menjemput kita kapan dan di mana saja baik di darat, laut ataupun udara. Cara paling tepat untuk menghadapinya dengan melakukan berbagai persiapan.
Bentuk persiapan itu adalah sebuah pemahaman ‘setiap yang bernyawa pasti akan mati’ (kullu nafsin dzaaikatul maut). Hidup di dunia adalah sebuah jembatan menuju kehidupan kekal di akhirat. Orang yang menyadari hal ini, jelas ia tak akan pernah takut menghadapi bencana. Implikasi dalam hidupnya yakni menjalankan segala yang diperintahkan Nya dan meninggalkan yang dilarang Nya, yang biasa didefinisikan dengan takwa. Artinya, seseorang yang terbiasa berbuat maksiat termasuk KKN dan sebagainya, saatnya bertobat sebelum terlambat. Kata orang bijak: lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.
e-mail: fikri_025@yahoo.co.id
No comments:
Post a Comment