Jumat, 16 Maret 2007 Radar Banjarmasin
JAKARTA,- Bencana yang datang beruntun di Indonesia mendapat perhatian Komnas HAM. Komisi yang dipimpin oleh Abdul Hakim Garuda Nusantara ini menyorot upaya penanggulangan bencana oleh pemerintah yang masih jauh dari sempurna. Komnas HAM menegaskan jika setiap korban di negeri ini seharusnya berhak mendapat santunan.
”Kegagalan pemerintah untuk memenuhi santunan adalah pelanggaran HAM juga. Tapi kami tidak bisa menuntut pemerintah (jika ini belum terpenuhi). Kami berharap RUU Penanggulangan Bencana (PB) segera disahkan,” kata Komisioner Hak Masyarakat Hukum Adat Komnas HAM Saafroedin Bahar di Komnas HAM kemarin. RUU PB adalah payung yang akan berguna jika bencana datang.
Saafroedin tak hanya asal bicara. Dalam buku kumpulan tulisan berjudul Indonesia; Bencana Alam atau Pembunuhan Massal yang dipublikasikan kemarin itu tergambar bagaimana bencana –dan kegagapan pemerintah untuk menanggulanginya— begitu akrab di negeri ini. Buku itu berisi tulisan Andre Vitchek, Saafroedin, dan Endy M. Bayuni.
Tulisan Vitchek dikutip dari The International Herald Tribune dan The Financial Times. Senior fellow pada Oakland Institute itu menulis, ”Indonesia mengganti Bangladesh dan India sebagai bangsa paling rentan bencana di dunia. Pesawat hilang, kapal tenggelam, lumpur Lapindo, gempa, tsunami… Sejak Desember 2004 Indonesia kehilangan 200 ribu rakyatnya, jumlah yang lebih besar dari korban di Irak pada saat yang sama. Tenggelamnya kapal bukan karena angin kencang dan ombak, tapi karena perawatan yang buruk…korupsi. Ini semua menjadi ladang pembunuh massal.”
Saafroedin menambahkan, menyadari posisi yang rentan bencana itulah, Indonesia harus segera berbenah. Salah satunya menyiapkan RUU PB yang kabarnya akan disahkan DPR pada 27 Maret. ”Dengan cara ini maka hak rakyat untuk mendapatkan perlindungan negara dari setiap bencana akan lebih mudah terlaksana,” tambahnya.
Hadir dalam kesempatan itu Ruswiayati Suryasaputra (ketua sub komisi perlindungan kelompok khusus), Amidhan (ketua sub komisi Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya) serta Moch Taufiqul Mujib (Divisi Kajian dan Kampanye PBHI). (naz)
No comments:
Post a Comment