Selasa, 09 Januari 2007 00:37
* Eksploitasi SDA Dan Pengabaian Hak Rakyat
Pembangunan berkelanjutan yang selama ini digadang-gadang pemerintah, ternyata masih tetap mengedepankan kepentingan ekonomi (jangka pendek) daripada keberlanjutan kehidupan itu sendiri.
Oleh: Berry Nahdian Forqan
Direktur Eksekutif Walhi Kalsel
Terjadinya banjir besar di empat kabupaten pada Juni lalu, memberikan gambaran tentang kondisi lingkungan hidup terutama kawasan hutan di Kalsel yang mengalami degradasi cukup parah. Belum selesai berbenah akibat dampak banjir itu, pada Agustus sampai November masyarakat Kalsel dihadapkan lagi pada persoalan yang tidak kalah serius yaitu kebakaran hutan dan lahan yang menimbulkan kabut asap dan berdampak luas terhadap berbagai aspek kehidupan terutama bagi kesehatan manusia. Pada musim penghujan banua ini mengalami kebanjiran dan musim kemarau kekeringan, kebakaran hutan dan lahan yang berujung pada bencana asap yang cukup menderitakan sebagian besar masyarakat kita.
Bencana banjir, kekeringan dan kabut asap yang terjadi pada 2006 di banua ini jelas bukan karena faktor alam semata. Namun lebih disebabkan oleh kesalahan manusianya yang salah urus dalam mengelola sumber daya alam (SDA) dan lingkungan. Sebagaimana disebutkan Kartodihardjo dan Jhamtani (2006): "Bencana pembangunan terjadi sebagai gabungan faktor krisis lingkungan akibat pembangunan dan gejala alam itu sendiri, yang diperburuk dengan perusakan SDA dan lingkungan serta ketidakadilan dalam kebijakan pembangunan sosial." Pembangunan yang hanya menekankan kepada kepentingan ekonomi pada akhirnya mengancam keselamatan keberlangsungan kehidupan rakyat. Ketika bencana datang, pertanyaan kita adalah siapa yang paling dirugikan. Apakah pejabat-penguasa, pengusaha atau rakyat marginal kebanyakan?
Tak Berprespektif Lingkungan
Pembangunan ekonomi yang berlangsung selama ini, menempatkan SDA hanya sebagai onggokan komoditas. Karenanya, eksploitasi terhadap SDA dilakukan secara masif dan berlebihan dengan mengabaikan aspek ekologi-lingkungan, sosial dan kemungkinaan dampak bencana yang ditimbulkannya. Jika pun ada beberapa kebijakan dan pembangunan yang prolingkungan, namun tetap saja tidak mampu membendung laju kerusakan lingkungan yang terus berlangsung karena posisinya yang memang hanya dijadikan sebagai ‘alat pelengkap’ agar kelihatan akomodatif dan bervisi berkelanjutan.
Pembangunan berkelanjutan yang selama ini digadang-gadang pemerintah, ternyata masih tetap mengedepankan kepentingan ekonomi (jangka pendek) daripada keberlanjutan kehidupan itu sendiri. Hanya ‘pembangunannya’ yang terus berlanjut, sedangkan keberlangsungan perikehidupannya terabaikan. Eksploitasi SDA yang dilakukan sudah melebihi daya dukung lingkungan yang ada dan melampaui ambang batas.
Berbagai kebijakan pemerintah baik daerah maupun pusat, cenderung mempermudah jalan bagi terlaksananya eksploitasi yang masif tanpa memperhitungkan keseimbangan lingkungan. Kawasan hutan yang semestinya dilindungi dan berfungsi sebagai penyangga, justru dieksploitasi dengan diberikannya izin pertambangan di kawasan hutan lindung. Padahal, hampir 50 persen hutan di Kalsel telah mengalami deforestasi. Kapasitas terpasang industri perkayuan di Kalsel yang besarnya melebihi tiga juta kubik per tahun, jelas sangat jauh melebihi kemampuan daya pasok hutan alam yang ada secara lestari.
Berdirinya industri kayu serpih (chip mill) di Desa Ale-ale Kecamatan Tanjung Seloka Kabupaten Kotabaru, dan rencana pembangunan industri bubur kertas (pulp) di Desa Sungai Cuka Kecamatan Satui Kabupaten Tanah Bumbu dengan kapasitas industri sebesar 600 ribu sampai satu juta ton per tahun, justru akan semakin menambah gap antara suply dan demand terhadap kayu sehingga pemenuhan kebutuhannya mengancam lingkungan dan hutan alam yang ada.
Kawasan Pegunungan Meratus sebagai bagian terpenting dalam menjaga kestabilan lingkungan hidup di Kalsel dan ‘benteng pertahanan terakhir’, terus dibabat dan digusur baik oleh aktivitas pembalakan kayu maupun penambangan legal dan ilegal. Ditambah terbitnya ratusan izin Kuasa Pertambangan (KP) Batu Bara dan puluhan izin PKP2B (terdapat lebih 300 izin pertambangan di Kalsel), tiga HPH aktif, empat IPK aktif, enam HTI aktif dan 46 izin perkebunan skala besar, maka lengkaplah sudah potret pembangunan yang tidak berperspektif lingkungan.
Menuai Bencana
Juni 2006 lalu, banjir menyapu empat kabupaten yaitu Banjar, Tanah Laut, Tanah Bumbu dan Kotabaru. Dengan korban 12.2048 jiwa, sembilan orang meninggal dunia, ribuan hektare sawah dan rumah terendam, ratusan kilometer jalan rusak dan kerugian total akibat bencana itu sekitar Rp146,457 miliar. (Sumber Presentasi Wagub Kalsel 2006). Ini baru yang terdata oleh pemerintah. Bagaimana dengan yang tidak tercatat dan kerugian sosial lainnya, saya yakin realitasnya jauh lebih besar.
Tidak berselang lama (Agustus 2006), terjadi kebakaran hutan dan lahan. Kabut asap pun menjadi masalah dan puncaknya pada November 2006. Menurut Kepala Dinkes Kalsel, Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) Oktober 2006 memperlihatkan kandungan partikulat (PM 10) sangat tinggi hingga mencapai 640 u/m3, padahal batas standar sehat hanya 150 u/m3. Artinya, kondisi udara sudah tidak sehat. Akibatnya menimbulkan beberapa penyakit seperti ISPA, iritasi mata dan kulit serta ganguan kejiwaan bagi masyarakat.
Dari fenomena bencana yang terjadi, aspek penting untuk diperhatikan adalah pola perusakan ekologi, pola iklim dan penanganan yang dilakukan pemerintah. Pada musim kemarau, kita selalu kekurangan air dan pada musim penghujan kebanjiran. Ini mengindikasikan, semua infrastruktur yang dibuat untuk merekayasa lingkungan telah gagal, karena sumber masalah tidak ditangani sungguh-sungguh. Krisis demi krisis akibat salah urus ini kemudian berujung pada bencana ekologis yang kian nyata terlihat.
Bencana banjir, kekeringan, kebakaran lahan dan hutan serta kabut asap tidak hanya dilihat dari proses alamiah dan dampaknya secara insedentil, tetapi juga dilihat dari faktor pendukung lain dan akar penyebabnya. Sebagai manusia yang dikarunia akal dan pemikiran, mestinya harus memiliki upaya preventif dan maksimal dalam menghadapi bencana tersebut. Namun hampir di setiap bencana, respon dan penanganannya terasa lambat dan jalan di tempat.
Dalam hal ini, pemerintah tidak memaksimalkan lembaga yang memiliki fungsi dan peranan menghadapi bencana tersebut. Belum lagi kalau kita berbicara tentang pola penanggulangan atau pengelolaan risiko bencana, hampir tidak ada upaya transformatif untuk menciptakan perubahan kondisi tersebut. Padahal kita memiliki banyak orang yang mumpuni dalam bidang tersebut.
Jika kita cermati, penanganan bencana di Kalsel dilaksanakan dengan pendekatan konvensional dan dilakukan dengan mekanisme eksternal. Rencana kegiatan penanggulangan bencana (pada tahap prevensi, mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat, rehabilitasi, rekontruksi) yang tertuang pada keputusan Menko Kesra, terlihat memosisikan masyarakat sebagai objek.
Jika kita telusuri, ada pemahaman yang kurang tepat tentang bencana tersebut. Selama ini, umumnya pemerintah menganggap bencana sebagai gangguan terhadap proses pembangunan yang normal, peristiwa yang berdiri sendiri, tidak serta merta (hubungan sebab akibat) sehingga penanganannya pun hanya bersifat darurat.
Pemahaman yang kurang tepat ini, berpengaruh terhadap pola penanganan bencana. Pola emergency action yang dipakai selama ini, hanya bertujuan memperbaiki situasi menjadi sebelum terjadi bencana, sehingga dana yang dikeluarkan pun dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Sementara upaya penanganan jangka panjang dalam bentuk pengelolaan risiko bencana (Disaster Management Risk) sebagai upaya kesiapan, dan minimalisasi dampak akibat bencana kurang mendapat perhatian. Pemerintah belum mampu menjamin dan memberikan perlindungan terhadap hak rakyat atas lingkungan hidup yang baik, aman, nyaman dan sehat.
Dari berbagai bencana banjir, kekeringan, kebakaran lahan dan hutan serta kabut asap yang terjadi pada 2006, jelas sekali memperlihatkan pengelolaan SDA yang tidak bijaksana adalah penyebab utamanya. Di samping itu, kegiatan dan perencanaan pembangunan yang dilakukan sama sekali tidak memperhitungkan dampak dan tidak mengakomodasi risiko bencana yang mungkin terjadi (tanpa ada Managemen Risiko). Pencegahan bencana bukan menjadi bagian dari proses pembangunan, sehingga yang dilakukan bukan pencegahan tetapi justru lebih pada penanganan bencana. Padahal, apabila perencanaan kegiatan pembangunan digabungkan dengan Risk Management maka dalam perencanaan pembangunan bisa diperhitungkan segala kemungkinan yang terjadi.
Juga terlihat jelas, pengambilan manfaat dari SDA tidak memperhitungkan dampak secara ekologi dan sosial. Pengambilan manfaat atas SDA yang dilakukan secara tidak bijak ini berdampak buruk terhadap semua aspek kehidupan. Pembangunan yang salah kaprah, menyebabkan berbagai degradasi dan kerusakan lingkungan. Krisis ekologi terjadi dan berujung pada terjadinya bencana dan akhirnya berlanjut semakin terpuruknya tatanan kehidupan sosial ekonomi masyarakat, kemiskinan, pengungsi, ketidakberdayaan, wabah penyakit, meningkatnya kejahatan dan konflik serta penyakit sosial lainnya.
Jika saat ini kita menuai bencana yang merupakan buah dari pembangunan selama ini, maka kita patut bertanya kembali bahwa pembangunan itu sebenarnya untuk apa dan kepentingan siapa?
e-mail: forqan@walhi.or.id
Copyright © 2003 Banjarmasin Post
No comments:
Post a Comment