Saturday, October 14, 2006

Jalan A Yani Lumpuh 3 Jam

Jumat, 13 Oktober 2006 03:04:03

* Pilot tak berani terbang
* Polisi kawal pengendara
* Emil: Libatkan masyarakat

Banjarbaru, BPost
Kabut asap tebal yang membelenggu wilayah Kalimantan Selatan mencapai titik nadir. Selain menciptakan epidemi Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), Jumat (13/10), asap melumpuhkan transportasi darat dan udara.

Jalanan A Yani, tepatnya di Bundaran Hasan Basry Liang Anggang, Landasan Ulin, Banjarbaru lumpuh hingga tiga jam, mulai sekitar pukul 05.30 Wita. Pengendara mobil dan motor tak bisa melihat ruas jalan, meski dalam jarak pandang semeter pun.

Praktis lalu lintas di kawasan ini macet total. Para pengendara yang terjebak asap tebal tak berani melintas, khawatir mengalami kecelakaan tragis seperti terjadi di Balikpapan dan Palangka Raya.

Jalanan pun terasa sesak kendaraan dan kabut asap bercampur asap motor. Meski mengenakan masker, tak sedikit pengendara terbatuk-batuk dan mata terasa pedih. Antrean mobil dan motor memanjang hingga dua kilometeran, mulai KM 21,7 dari arah Banjarbaru dan Martapura menuju Banjarmasin atau Pelaihari, hingga seputar Bundaran Hasan Basry Liang Anggang Km 19.

Situasi yang sama melanda kawasan Tugu 17 Mei di KM 17. Pengendara yang nekat bergerak merambat pun pada akhirnya tersesat, salah arah. Beberapa pengendara yang menuju Banjarmasin salah jalur menuju Pelaihari, ada pula yang masuk Jl Soebarjo atau jalur Lingkar Selatan menuju Pelabuhan Trisakti.

Mengantisipasi kerawanan kecelakaan, aparat lalu lintas Polresta Banjarbaru turun tangan. Para pengendara diminta menyalakan semua lampu, lalu dikawal menggunakan mobil patroli.

Sayang, cara ini belum juga mampu menolong pengendara. Sorot lampu mobil patroli tak mampu menembus asap tebal. Polisi akhirnya mengawal dengan cara jalan kaki. Para pengendara yang menuju Banjarmasin membuntuti langkah Polantas hingga keluar bundaran Hasan Basry Liang Anggang.

Sudahkah terbebas asap? Belum! Ketika memasuki Tugu 17 Mei di KM 17, para pengendara kembali terjebak. Bahkan mobil jenis L300 sempat menyeduruk mobil di depannya hingga kaca depannya rontok. Beberapa mobil yang lain yang tak bisa melihat jalur, sempat mengitari Tugu 17 Mei beberapa kali.

"Kami minta pengendara mengurangi kecepatan, menyalakan lampu dan sesekali membunyikan klakson agar terhindar dari kecelakaan. Jika takut, sebaiknya menepi. Setelah asap menghilang, baru melanjutkan perjalanan," imbau AKP Agus Fajarudin, Kasatlantas Polresta Banjarbaru.

Para pengendara baru benar-benar lega, ketika jarum jam menunjuk pukul 08.30 Wita. Idrus yang memilih berhenti di pinggir jalan, baru meneruskan perjalanan setelah kabut asap lenyap pukul 08.30 Wita. Ketebalan asap berangsur menipis, seiring munculnya sang surya. Para pilot pun baru berani menerbangkan pesawat dari landasan pacu Bandara Syamsudin Noor.

Saputan asap Jumat kemarin, menyebabkan tiga maskapai penerbangan menunda keberangkatannya. Garuda Indonesia Airlines (GIA), Batavia Air dan Wings Air, terpaksa menunda jadwal keberangkatan hingga satu jam.

Situasi tak menentu

Kepala Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Stasiun Bandara Syamsudin Noor Dwi Agus Priyono menyebutkan, jarak pandang di bandara sebetulnya lebih baik dibanding sehari sebelumnya. Namun, jara pandang kurang 100 meter, tetap menyimpan potensi celaka. Apalagi, kecepatan angin bergerak lamban sehingga asap betah di bawah. "Untuk memastikan bisa terbang atau tidaknya, setiap saat kami memberi informasi kepada pilot mengenai perkembangan jarak pandang landasan pacu," kata Awaluddin, Humas PT (Pesero) Angkasa Pura Bandara Syamsudin Noor.

Awaluddin tak bisa memastikan sampai kapan kabut asap mengganggu penerbangan. Alasannya, cuaca buruk ini sangat bergantung hujan, kebakaran hutan dan lahan serta arah angin. Berbeda dengan Kota Jambi yang mulai kemarin terbebas dari asap, setelah dua bulan kelimpungan.

Matahari mulai bersinar terang, jalanan lancar dan penerbangan pun normal. Di Kalsel, asap tetap menjadi ancaman dalam beberapa hari ke depan. Hingga kemarin, tercatat sekitar 700 hektare kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Sultan Adam di Kabupaten Tanah Laut, terbakar. Sebelumnya, sekitar 400 hektare juga hangus di Mandiangin, Kabupaten Banjar.

Kebakaran lahan dan hutan ini seperti tahun-tahun sebelumnya, terjadi secara alami (gesekan daun kering) dan sengaja dibakar. Oleh karena itu kepolisian pun sibuk menyelidikinya. Di Kalteng, Polda Kalteng sedang mengecek laporan bahwa 17 perusahaan perkebunan sengaja membakar lahan, sehingga Palangkara dan Pontianak terkenah getahnya.

Hingga kemarin, Polda baru menetapkan 8 perusahaan sebagai tersangka pembakaran plus empat tersangka perorangan kasus serupa.

Kedelapan perusahaan itu tersebar di tiga kabupaten, Seruyan (PT Hamparan Masawit Bangun Persada dan PT Sarana Titian Permata), Kotawaringin Timur (PT Sawit Windu Nabatindo Lestari, PT Agro Karya Makmur Bahagia dan PT Agro Bukit), Kotawaringin Barat (PT Bangun Jaya Alam Permai dan PT Apac Paper).

Sedangkan tersangka perorangan terdapat di kota Palangka Raya, Kotawaringin Barat, Barito Timur dan Kapuas. Mereka dijerat UU No 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No 18 tahun 2004 Tentang Perkebunan dan Perda No 5 Tahun 20036 Tentang Pembakaran Lahan dan atau Hutan.

Polda Kalbar pun melakukan antisipasi dengan memperingatkan para pemberi izin perkebunan agar mengawasi aktivitas perusahaan perkebunan. Pemerintah pusat yang sempat putus asa mengatasi asap yang sampai mengganggu negera jiran Malaysia dan Singapura, kini mencoba membuat hujan buatan. "Mudah-mudahan hujan alami sesuai ramalan. Diperkirakan dua sampai tiga hari ini awan dari Filipina sudah kembali, bergerak ke Indonesia," kata Wapres Jusuf Kalla.

Kegagalan pemerintah memadamkan api sekaligus menanggulangi kabut asap, dinilai Prof Emil Salim (76) karena tak melibatkan masyarakat setempat. Mantan menteri lingkungan hidup ini meyakini masyakarat sekitar hutan memiliki kearifan lokal karena telah hidup di kawasan itu selama berpuluh-puluh tahun.

"Masyarakat sekitar hutan merasakan kerugian bila hutan terbakar atau dibakar, karena tikus-tikus otomatis akan menyerbu lumbung-lumbung padi dan ladang atau sawah penduduk di desa setelah hutan habis terbakar dan tidak lagi menyediakan sumber makanan," tutur Emil, menceritaan pengalamannya saat menjadi menteri di era Soeharto. niz/kcm/ant/dtc/tic/mic

Copyright © 2003 Banjarmasin Post

No comments: